is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fikrul Hanif Sufyan

Menanti Tamu Kongres ke-19 di Tepian Dermaga Emmahaven

Sejarah | 2024-02-17 13:43:26

Fort de Kock dan Kongres ke-19 tiba-tiba menjadi sebuah fenomena ketika memasuki tahun 1930. Tahun yang penuh ujian, karena seluruh dunia, termasuk negeri jajahan dilanda depresi ekonomi.

Bermula dari Ide Haji Fachrodin

Penunjukan Sumatra Westkust selaku tuan rumah, diawali tourne Haji Fachrodin (1927) dan M. Joenoes Anies (1928). Mereka melaporkan pada Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur, bahwa kekuatan Muhammadiyah tidak lagi sebatas di Jawa, melainkan sudah meluas di ranah Minang.

Ketika Kongres ke-18 khusus membahas agenda pelaksanaan Kongres ke-19, Haji Fachrodin mengutarakan pengalaman empirisnya selama di Sumatra Westkust. Ia pun mengusulkan kepada Hoofdbestuur, agar menetapkan Minangkabau sebagai pelaksana Kongres selanjutnya. Fachrodin beralasan, negeri ini mampu memenuhi cita-cita Muhammadiyah, sekaligus pelopor pengembangan persyarikatan di seluruh Sumatera, bahkan seluruh Hindia Timur.

Usulan Haji Fachrodin itu rupanya mendapat sambutan hangat dari M.Joenoes Anis dan seluruh utusan dari daerah. Ketika pimpinan sidang meminta kesediaan utusan Minangkabau, mereka pun meminta waktu untuk membicarakannya di Konferensi Daerah. Namun jawaban utusan itu, ditanggapi dengan penuh semangat oleh Haji Fachrodin.

Pasca Kongres ke-18 dan Konferensi Daerah di Simabur– memutuskan perhelatan akbar akan dilaksanakan tanggal 14-21 Maret 1930 di Fort de Kock (baca: Bukittinggi), para pimpinan Muhammadiyah bekerja keras untuk menambah jumlah ranting (groep).

Memasuki tahun 1930 pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang dihadapkan pada situasi yang kurang menguntungkan. Di tengah persiapan Kongres ke-19 di Fort de Kock sudah menanti di depan mata, pantia harus menghadapi depresi ekonomi.

Depresi ekonomi telah menyeret Hindia Timur ke jurang krisis ekonomi yang panjang. Pemerintah Hindia Belanda kala itu bersikukuh mempertahankan standar emas dan tidak mendevaluasi guldennya, secara perlahan masuk ke jurang krisis keuangan terburuk selama beberapa tahun. Kondisi serupa juga menimpa Sumatra Westkust yang masih berjuang merecovery perekomian pasca Gempa 1926.

Residen Sumatra Westkust harus menjalankan instruksi de Jonge– dalam beberapa kebijakan yang membebani pegawainya, sekaligus membuat orang Minang kembali dikenai kenaikan belasting. Beberapa instruksi de Jonge– kemudian dikenal sebagai politik deflasi, antara lain: menurunkan gaji dan upah, mengadakan pajak-pajak baru dan menurunkan berbagai tarif dan lainnya.

Dampak kebijakan itu telah menyeret nagari-nagari di Sumatra Barat kearah depresi dan menurunnya harga hasil bumi, ketela, jagung dan padi. Hampir setiap hari laki-laki yang duduk di kedai-kedai kopi, mengeluh berkurangnya sewa tanah dan upah buruh tani.

Comitte van Ontvangst Bergerak

Comitte van Ontvangst ke-19 yang diketuai Saalah Jusuf Sutan Mangkuto menyadari, tidak bisa berbuat banyak menghadapi situasi sulit itu. Melalui panitia yang telah bentuk– mereka diserahi tugas mencari donasi sebanyak-banyaknya di perantauan. Dan usaha yang dirintis itu, berhasil.

Panitia Kongres mampu menerima serapan dana yang bersumber dari berbagai kalangan di Hindia Timur–termasuk dari saudagar besar yang berada di Padang, Pariaman, Fort de Kock, Fort van der Capelen, dan Padang Panjang.

Laporan Comitte van Ontvangst menulis, donasi terbesar untuk harlah Muhammadiyah itu diperoleh dari para saudagar besar di Sumatra Westkust, maupun di perantauan. Pemasukan kas itu berasal dari pendapatan perusahaan dan tentoonstelling dan iklan yang berjumlah f 2562,23. Sungguh, capaian yang diluar pekiraan, di masa ekonomi panceklik, saudagar Minang menyumbang dengan dana besar.

Depresi ekonomi yang mendera Hindia Timur, rupanya memang tidak menyurutkan langkah Muhammadiyah untuk menggelarnya di Fort de Kock. Ditengah gegap-gempita suasana jelang Kongres , panitia dibuat sibuk untuk menyambut kedatangan Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur, utusan dari Jawa, Celebes, Sumatra, dan sekitar Sumatra Barat.

Pimpinan Hoofdbestuur yang menyatakan kesediaannya hadir di arena Kongres, antara lain: K.H. Ibrahim, K.H. Moechtar, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Hasjim, K.H.Moh. Wazirnaru, K.H.Mas Mansoer, K.H.M. Basiran, K.H.Nawawie Bjs, K.H.Wasool, Haji Soedja, K.H. Dahlan MS, Raden Haji Duri, Siraad Dahlan, Rusli, S. Sastrosuwito, Haji Abdul Hamid, M.Aslam Z, dan M.Joenoes Anis (Tjatetan Persidangan Congres Besar Moehammadija Minangkabau ke-19 tahun 1930: 1).

Dijangkiti Demam Kongres ke-19

Suasana penantian perhelatan empat tahun itu juga dirasakan orang Minang. Tiap-tiap kampung yang bukan menjadi basis utama Muhammadiyah–sibuk membicarakan harapan dan keinginan mereka. “Bagaimanakah gembiranya Kongres besar itu dan alangkah ramainya? Banyaklah yang menunggu dan berbesar hati.”

Animo besar juga datang dari ibu-ibu pengurus Aisyiyah di seluruh Tjabang dan groep yang menunggu dikabulkannya pendaftaran mereka oleh Comitte van Ontvangst–setelah mengantongi surat izin dari suami mereka. Bahkan, kepada anak-anak di perantauan, seorang ibu menulis surat, meminta anaknya agar lekas pulang kampung. “Pulanglah anak dahulu, jelanglah rumah ibu-bapa, kok mati sekarang memekiklah di dalam kubur, menyesal anak di akhirat. Congres ke-19 ta dapat anak lihat.”.

Sehari menjelang kapal uap rombongan Hoofdbestuur berlabuh di pelabuhan Emmahaven, pengurus Tjabang Padang resah memikirkan cara penyambutan nantinya. Demikianlah suasana hati orang Minang–bila tamu penting yang dinanti-nantinya datang. Saalah, selaku voorzitter hoofdcomitte van Ontvangst menugaskan Hamka dan A.Wahid untuk menyampaikan undangan Kongres ke Tanah Malaya dan Singapura.

Keinginan menggebu-gebu para perantau dari Aceh, Medan, Bengkulu, Palembang, dan Lampung untuk menghadiri acara itu, memang bukan kepalang. Mereka yang sedang bekerja mencoba mencari alasan, agar diizinkan atasannya untuk pulang kampung. Pengurus Cabang daerah yang pernah pulang kampung setahun, atau beberapa bulan sebelum Kongres– harus memutar akal, mencari alasan.

Suasana gundah perantau, maupun pengurus Muhammadiyah di luar Sumatra Barat tentu bisa dipahami. Kongres dilaksanakan pada masa depresi ekonomi. Sedangkan untuk pulang, pengeluaran terbesar bukan untuk transportasi–melainkan “buah tangan” untuk keluarga besar di kampung halaman.

Namun, kerinduan mengikuti Congres, telah mengalahkan derita kesulitan ekonomi yang mereka tanggung. Sehingga ada-ada saja alasan mereka nanti, sesampainya di kampung halaman. “Saya pulang yang sekali ini tidak membawa uang, hanya menjadi utusan Muhammadiyah.” Ungkap seorang utusan dari daerah kepada Hoofdcomitte.

Adakalanya, dari anggota Hizbul Wathan yang tiada biaya untuk pulang kampung, harus bersiasat walaupun harus meratap dan mengiba sambil berpantun.

Tidak padi seluluh ini

Tanjung Raya jalan ke pulang

Pandanku saja nan tak tampak

Tidak hati sesedih ini

Di Congres kawanku pulang

Badanku saja yang tak tampak.

Depresi ekonomi memang tidak lagi menjadi halangan– terutama utusan dari luar Sumatra Barat. Mereka yang berasal dari utusan Tjabang-Tjabang Muhamamdiyah di Jawa nekat berangkat. Ingin menghadiri Kongres, bertemu dengan saudara-saudara mereka yang berasal dari etnis Minangkabau, Batak, Palembang, Bengkulu, Bugis dan Bone– merupakan sebab utusan dari Jawa ingin hadir di ranah Minang

Entah dari ulah siapa, tiba-tiba Minangkabau menjadi booming di Tanah Jawa. Sampai-sampai orang yang “menggalas” kaki lima menawarkan dagangannya–semuanya bertema Minangkabau.

Mulai dari: kain, tikar, baju kaos, hingga pisang goreng. Ketika hari keberangkatan tiba, stasiun-stasiun di Yogyakarta dan Solo jadi penuh sesak– mirip ketika para pengunjung mengantarkan keluarga mereka naik haji. Sesampai di stasiun Gambir, rombongan itu disambut oleh Hizbul Wathan Tjabang Batavia, untuk diantarkan ke pelabuhan Tanjung Priok.

Tanggal 10 Maret 1930, Saalah mengerahkan semua pengurus Muhammadiyah dan Hizbul Wathan Cabang Padang Panjang, Padang, Bukittinggi, Simabur, Batipuh, Kuraitaji, dan Talu untuk menyambut rombongan Hoofdbestuur, dan utusan-utusan dari Jawa di pelabuhan Emmahaven,.

Pelabuhan Emmahaven–yang menjadi persinggahan awal tamu dari seluruh Indonesia, menjadi agenda penting dari pengurus Cabang Padang. Siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi, siang tak dapat disenangkan, malam tak dapat ditidurkan, hati rusuh akal terharu, menanti-nantikan utusan dari Jawa– demikian ungkapan seorang pengurus dalam kiasan Melayu.

Demikianlah suasana hati orang Minang–bila tamu penting yang dinanti-nantinya menyambanginya. Saalah, selaku voorzitter hoofdcomitte van Ontvangst menugaskan Hamka dan A.Wahid untuk menyampaikan undangan kongres ke Tanah Malaya dan Singapura.

Depresi ekonomi memang tidak lagi menjadi halangan– terutama utusan dari luar Minangkabau. Mereka yang berasal dari utusan cabang Muhamamdiyah di Jawa pun nekat berangkat. Ingin menghadiri kongres, bertemu dengan saudara-saudara mereka yang berasal dari etnis Minangkabau, Batak, Palembang, Benkoelen, Jawa, Bugis dan Bone– merupakan sebab utusan dari Jawa ingin hadir di ranah Minang.

Di antara pengurus dari Sumatra, hanya dari Benkoelen yang beruntung, karena jalur laut yang cukup dekat dengan Pantai Barat Sumatra. Pengurus cabang dan groep Benkoelen bisa saja menyewa kapal dengan harga murah. Maklum saja, karena sebagian besar pengurus berasal dari Minangkabau sudah membayangkan, di kapal mereka akan menyanyikan lirik lagu Surantiah yang mendayu-dayu.

Perwakilan Comitte van Ontvangst, pengurus cabang dan groep se-Sumatra Westkust menanti hadirnya rombongan Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur dan peserta dari daerah lainnya di tepian dermaga Emmahaven. Sumber: Hoofdcomitte Congres XIX, 1930.

Kapal KPM pun Merapat di Dermaga Emmahaven

Pada hari Kamis, 13 Maret 1930, atau bertepatan dengan 12 Syawal 1348 Hijriah, penunggu tamu yang berasal dari unsur Muhammadiyah dan barisan HW itu sudah menyemuti pelabuhan Emmahaven. Teriknya panas matahari, tidak menghalangi kekhusyukkan mereka menanti tamu Kongres ke-19. Mereka masih menunggu tanda-tanda Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), yang rupanya terlambat berlabuh.

Para penyambut tamu istimewa itu, berbusana dengan identitas modernisnya. Ada yang memakai setelan jas, baju kerah putih, celana pantalon putih, dan kopiah beludru hitam; ada yang memakai busana kerah kaku putih dipadu dengan kain sarung kotak-kotak dan berkopiah beludru hitam; dan sebagian kecil memakai atribut kepanduan HW. Jelas, inilah identitas luar dari Muhammadiyah, dari pengurus cabang dan groep di Minangkabau.

Rombongan awal yang datang adalah utusan dari Aceh, Sumatra Timur, dan Lampung. Tamu yang turun dari kapal ophir, segera disambut dengan pantun Melayu

Tanah liat berkelipat

Ditimpa tanah langgundi

Kongres nan sebesar ini.

Belum dilihat lah dilihat

Ada suasana gembira, diiringi gelak tawa. Karena utusan yang hadir, adalah perantau Minang yang aktif di cabang dan groep. Lama mereka berpelukan – terutama yang sedaerah dengan mereka. Sebagian kecil dari penunggu tamu yang diiringi HW, segera mengantar mereka ke bus, dan mobil yang menunggu di pelabuhan.

Tepat sore hari pukul 16.00, tamu istimewa yang membawa rombongan Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur, ibu-ibu Aisyiyah, cabang, dan groep merapat di bibir dermaga Emmahaven. Klakson besar kapal KPM adalah penanda kedatangan itu.

Tepian dermaga, makin disesaki ratusan penunggu tamu–yang hendak menyongsong kedatangan saudara mereka dari Yogyakarta. Hujan, badai, dan ombak besar membuat sebagian penumpang mabuk laut. Ibu-ibu Aisyiyah masih tampak gontai dan sedikit pucat. Mereka menanggung empat hari perjalanan mengarungi lautan.

Ketika kapal KPM telah bersandar, penumpang yang menempuh perjalanan berhari-hari itu, terkejut melihat lautan manusia. Belum lagi, atap gerbong kereta api, juga disesaki penunggu tamu dari Jawa. Suasana Emmahaven pada Jumat kedua Syawal itu sudah disesaki lautan manusia.

“Tidak kepalang susahnya mengurus barang, meskipun sudah dibantu beberapa punggawa” demikian keluh penyambut tamu, untuk memastikan barang yang dibawa rombongan dalam jumlah banyak itu, tidak tertinggal di dermaga.

Penumpang yang menuruni tangga kapal, tidak sempat lagi berjabatan tangan. Ketika gerbong kereta api sudah disesaki penumpang, mobil yang disiapkan di tepian dermaga siap mengantar mereka menuju Bukittinggi.

Rombongan yang terakhir datang, dari Benkoelen. Kapal yang membawa utusan dari Negeri Rafflesia itu, baru bersandar di pelabuhan pukul 05.00 sore. Mereka kemudian buru-buru mencari bus, supaya dapat menghadiri acara pembukaan Kongres ke-19 yang dijadwalkan pada hari Jumat, malam Sabtu. Bus yang mereka tumpangi, kerap rusak. Mereka baru sampai di tujuan pada pukul 05.00 pagi.

Pada hari yang sama, di beberapa masjid, surau, warung, bahkan mobil dan bendi sudah dipasang bendera Muhammadiyah. Demikian halnya di setiap tanggul, tonggak, persimpangan jalan, parkir kendaraan di Jam Gadang– bahkan jalan menuju ke ngarai Sianok sudah terpasang kain spanduk dengan tulisan “Membahagiakan Congres”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya