is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Memahami Manusia Melalui Dimensi Filsafat

Sejarah | 2024-01-26 17:46:01
Lukisan Mazhab Athena

Filsafat manusia atau antropologi merupakan bagian integral dari sistem filsafat yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Sebagai bagian dari filsafat, secara metodis ia memiliki kedudukan yang kurang lebih setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya seperti; etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial dan estetika. Semua cabang filsafat tersebut pada prinsipnya bermuara pada esensi manusia dengan menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif, serta memiliki ciri-ciri ekstensif, intensif, dan kritis.

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, karena manusia dibekali berbagai kelebihan nafsu (sifat dasar iblis), taat/patuh/tunduk (sifat dasar malaikat). Dan akal (sifat keistimewaan manusia). Ketiga hal tersebut membuat manusia memiliki kedudukan yang tinggi di hadapannya. Jika manusia dapat memposisikan diri sebagaimana yang dititahkan oleh Allah SWT, maka manusia akan memperoleh kebahagiaan abadi. Dalam Al Qur'an surat Az-Zariyat (51) ayat 56, Allah SWT berfirman yang artinya; “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku". Dari tafsir tersebut terlihat jelas bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Namun, banyak dari golongan manusia yang tidak dapat melakukan sebagaimana yang diharapkan oleh sang pencipta, malah manusia berbuat sebaliknya dan mengingkari apa yang telah dikaruniakan. Itu karena manusia belum memahami betul hakikat dirinya diciptakan oleh Allah SWT.

Melalui pendidikan manusia memperoleh berbagai ilmu baru dan dapat mengembangkan ilmu tersebut. Filsafat merupakan cabang ilmu pengetahuan yang selalu menggunakan pemikiran mendalam, luas, radikal, dan berpegang pada keijaksanaan dalam melihat suatu problem. Dengan kata lain, filsafat selalu mencoba mencari hakikat atau maksud dibalik adanya sesuatu tersebut. Untuk apa manusia hidup, bagaimana ia harus hidup, dan apa hakekat manusia hidup. Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan tersebut.

Manusia estetis bisa mewujud pada siapa saja, termasuk pada para filusuf, ilmuan, sejauh mereka tidak memiliki passion, tidak mempunyai antusiasme, komitmen dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya. Jiwa estetis mereka tampak dari pretensi mereka untuk menjadi “penonton obyektif” kehidupan. Mereka hanya mengamati dan mendeskripsikan setiap kejadian yang mereka amati dan alami dalam kehidupan tanpa berusaha untuk melibatkan diri kedalamnya. Manusia estetis tidak tau lagi apa yang sebetulnya yang di inginkannya, karna hidupnya tergantung pada mood dan trend dalam masyarakat dan zamannya. Yang pada akhirnya model manusia setetis ini, hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan karena semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua; bunuh diri (atau, bisa juga lari dalam kegilaan) atau masuk dalam tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.

Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi etis. Ada semacam “pertobatan” di sini, dimana individu mulai menerima kebijakan moral dan memilih untuk mengingatkan diri kepadanya. Jiwa individu etis mulai terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-akar kepribadiannya cukup tangguh dan kuat, pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, dengan beani dia akan mengatakan tidak pada setiap trend yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat dan zamannya. Manusia etis pun akan sanggup menolak tirani atau kuasa dari luar, baik yang bersifat represif maupun nonrepresif, sejauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya.

Keotentikan hidup manusia sebagai sebyek baru akan tercapai kalau individu dengan “mata tertutup” lompat dan meleburkan diri dalam realitas tuhan. Lompatan dari tahap etis ke tahap religius jauh lebih sulit, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang kita hadapi, sedangkan lompatan dari tahap etis ke tahap religius nyaris tanpa pertimbangan rasional. Hidup dalam tuhan adalah hidup dalam subyektifitas transenden, tanpa rasionalisasi dan ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi.

Hakekat manusia dalam pandangan filsafat sebagaimana telah sedikit diutarakan diawal tadi, manusia merupakan makhluk yang sangat unik. Upaya pemahaman hakekat manusia sudah dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat ini belum mendapat pernyataan yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan manusia itu sendiri yang memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain berbeda-beda. Para ahli pikir dari ahli filsafat memberikan sebutan kepada manusia sesuai

dengan

kemampuan yang dapat dilakukan manusia di bumi ini.

a. Manusia adalah homo sapiens, yaitu makhluk yang memiliki akal budi.

b. Manusia adalah animal rational, artinya binatang yang berfikir.

c. Manusia adalah homo laquen, yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan

menjelmaan pikiran manusia serta

d. perasaan dalam kata-kata yang terstruktur.

e. Manusia adalah homo faber, yaitu makhluk yang terampil.

f. Manusia adalah zoon politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerja sama, bergaul dengan

orang lain, dan mengorganisir diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

g. Manusia adalah homo economicus, yaitu makhluk yang tunduk pada prinsip ekonomi dan

bersifat ekonomis.

h. Manusia adalah homo religius, yaitu makhluk yang memiliki keyakinan agama.

Hakikat

lebih diarahkan pada hakekat dan martabat manusia berdasarkan agama tauhid. Manusia dalam ajaran agama tauhid tersusun dari dua unsur yaitu materi dan nonmateri, jasmani dan rohani. Tubuh manusia mempunyai daya fisik atau jasmani, yaitu daya mendengar, melihat, meraba, mencium dan

dan martabat manusia, tahap religius sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam bagian ini

gerak, baik ditempat seperti menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata, dan sebagainya. Adapun roh atau jiwa yang berasal dari nonmateri yang biasa disebut dengan an-nafs memiliki tiga daya; satu daya pikir yang disebut akal berpusat dikepala, dua daya rasa didada berpusat dikalbu dan tiga daya napsu berpusat diperut.

Konsep manusia menurut pandangan islam sebagaimana disebutkan diatas, berbeda dengan konsep manusia menurut ajaran sekulerisme adalah manusia tersusun dari tubuh dan roh. Roh dalam konsep ini adalah daya yang berfikir dalam diri manusia. Daya rasa didada yang erat hubungannya dengan hati nurani tidaklah menonjol. Daya pikir disini banyak bergantung pada panca indera hubungan dengan hal hal yang bersifat materi karena otak yang berbentuk fisik. Oleh karena itu, dengan meninggalnya manusia maka selesai lah seluruh riwayatnya. Tidak ada hidup kedua,tidak ada perhitungan setelah mati, yang ada hanya kehidupan materi.

Sumber

Aryati, A. (2018, Juli). Memahami Manusia Melalui Dimensi Filsafat. El-Afkar, 7

Penulis : Mutiara Mazli Rangkuti

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya