is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image BALQIS MILAD AR-RIZQY

Gundik dan Nyai pada Masa Penjajahan Belanda

Sejarah | 2024-01-24 15:07:38
Picture from Google

Pada masa penjajahan Belanda di Hindia Belanda, terutama pada abad ke-19, nasib wanita pribumi seringkali dipengaruhi oleh praktik-praktik sosial yang mencerminkan ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan. Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah praktik yang menjadikan wanita pribumi sebagai Gundik dan Nyai.

Gundik atau Nyai adalah istilah yang digunakan orang zaman dulu untuk wanita yang menjalin hubungan dengan lelaki Belanda, bisanya sebagai pendamping sementara, teman tidur atau pasangan yang tidak resmi. Mereka biasanya tidak diakui secara resmi dan tidak memiliki hak-hak yang setara dengan istri resmi. Keberadaan Gundik dan Nyai mencerminkan dominasi budaya penjajahan yang merendahkan peran dan harga diri wanita pribumi dan mengeksploitasi mereka dengan cara seksual.

Dan yang menjadi permasalahan terletak pada ketidaksetaraan sosial dan juga ekonomi yang diterapkqn oleh pemerintah kolonial Belanda. Wanita pribumi sering kali menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan mereka juga membatasi akses dalam hal pendidikan dan pekerjaan untuk wanita pribumi. Karena situasi itulah beberapa wanita pribumi terpaksa menjalani kehidupan sebagai Gundik atau Nyai sebagai upaya untuk bertahan hidup dan mendapatkan uang.

Dampak yang ditimbulkan pada nasib wanita pribumi sangat kompleks. Meskipun beberapa dari mereka mungkin menemukan bentuk keamanan ekonomi melalui hubungan tersebut, namun seringkali mereka menghadapi stigmatisasi sosial yang berat. Selain itu, ketidaksetaraan dalam hubungan tersebut dapat mengakibatkan pelecehan fisik dan emosional.

Penting untuk memahami bahwa kondisi ini merupakan hasil dari penjajahan dan sistem ketidaksetaraan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Seiring perjuangan kemerdekaan dan perubahan sosial, peran dan nasib wanita pribumi mulai mengalami perubahan, meskipun masih memerlukan waktu dan upaya untuk mencapai kesetaraan yang sepenuhnya.



Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya