is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

15 Januari 1974 Gerakan Anti Modal Asing

Sejarah | 2024-01-14 10:37:03

Menurut Adi Suryadi Culla (1999), sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa senantiasa berdiri pada garda terdepan dalam setiap perubahan sejarah yang terjadi di Indonesia, karena peran kesejarahannya ini mahasiswa diperibahasakan sebagai generasi patah tumbuh hilang berganti, di bentang sejarah pergerakan politik, gerakan mahasiswa muncul dari masa ke masa (1928, 1945, 1966, 1974, 1977/78, dan 1998). Pada artikel ini penulis mengangkat pergerakan mahasiswa yang terjadi ditahun 1974.

Gerakan mahasiswa 1974 merupakan puncak kekecewaan kelas menengah perkotaan, khususnya kalangan mahasiswa atas praksis serta kebijakan pemerintahaan Orde Baru. Kekecewaan mahasiswa bisa dimaklumi, sebab naiknya pemerintah Orde Baru itu tidak bisa lepas dari kontribusi mahasiswa yang memiliki jasa besar dalam menggulingkan Orde Lama, di kemudian hari dalam sejarah politik Indonesia kita mengenalnya sebagai Angkatan 1966.

Kekecewaan mahasiswa akibat dari terjadinya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, harapan arah kebijakan lebih progresif dari pemerintahan sebelumnya (Orde Lama), tetapi kenyataanya terjadi berbagai praktek penyimpangan kekuasaan (abuse of power). Berikut ini beberapa penyimpangan kekuasaan yang membuat mahasiswa tidak memiliki pilihan selain melakukan pergerakan.

Penyimpangan Pemerintah

Pertama, maraknya budaya korupsi, memasuki tahun 1970-an banyak media Indonesia memberitakan kasus korupsi, isu korupsi sudah merata dan meluas di berbagai instansi pemerintahan. Selain itu marak juga berbagai macam penyelewengan dan gaya hidup tidak wajar dari para pejabat tinggi dari level menteri sampai bupati, bahkan di salah satu BUMN ketika itu, salah seorang pejabatnya mendepositokan uang perusahaan atas nama pribadi sebesar Rp. 250 juta dan menikmati sendiri bungannya tiap bulan (Aly, 2004). Selain itu terjadi pemborosan anggaran negara digunakan dalam proyek-proyek ekslusif dinilai tidak mendesak dalam pembangunan, misalnya proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (Culla, 1999).

Kedua, bidang politik, pemerintah Orde Baru menerapkan Undang-Undang Pemilu yang dinilai menciderai nilai-nilai subtansi demokrasi misalnya terdapat seratus anggota parlemen yang ditetapkan melalui mekanisme penunjukan dan pengangkatan, artinya mereka menjadi wakil rakyat tidak melalui proses kontestasi politik, tetapi ditunjuk oleh eksekutif, hal ini dikhawatirkan akan membuat anggota legislatif tidak bisa kritis mengawasi setiap kebijakan pemerintah, berikutnya peserta Pemilu 1971, ternyata hanya diikuti partai politik peninggalan pemerintahan Orde Lama, pemerintah Orde Baru menolak rehabilitasi kembali Partai Islam Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), sehingga kedua partai itu tidak bisa mengikuti kontestasi politik (Raillon, 1984).

Ketiga, di bidang pembangunan mahasiswa mengkritik keluarnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dinilai banyak menguntungkan pihak asing. Pokok-pokok terpenting dari undang- undang baru tersebut diantaranya adalah terdapat jaminan tidak akan ada nasionalisasi aset perusahaan asing, namun bila itu terjadi akan ada kompensasi yang memadai, kemudian jangka waktu operasi perusahaan asing selama tiga puluh tahun serta dapat diperpanjang, dan terdapat jaminan perusahaan asing dapat memilih sendiri manajemen dan pekerja teknis mereka serta dapat pula membawa pulang keuntungan atau modal mereka dengan leluasa ke negara asalnya (Cahyono, 1998).

Kekecewaan mahasiswa terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru disebabkan strategi pembangunan yang ditempuh pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, sangat mengandalkan modal, teknologi, keterampilan dan pola manajemen yang mengharuskan berinteraksi dengan kapitalisme internasional. Sehingga kebijakan yang ditempuh pemerintah ini, menurut mahasiswa menciptakan ketergantungan Indonesia terhadap dunia luar, akibatnya dapat mengabaikan pengembangan kemandirian ekonomi domestik.

Peristiwa Malari 1974

Sebelum terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari), aktifis mahasiswa sudah menyuarakan berbagai tuntutan kapada pemerintah. Mereka menggelar aksi unjuk rasa diberbagai kampus merespon terjadinya penyelewengan kekuasaan pemerintah Orde Baru, puncak dari perlawanan kelompok kelas menengah perkotaan ini terjadi di tanggal 15 Januari 1974.

Pada tanggal 15 Januari 1974 terjadi aksi demonstrasi besar-besar, aksi di mulai dari kampus UI Salemba, para mahasiswa yang berjumlah 1.500 orang berkumpul meneriakan yel-yel anti modal asing. Mereka mengadakan long march ke Universitas Trisakti, ketika mahasiswa berjalan mendekati monas, jumlah massa semakin membesar, karena berbaurnya masyarakat dalam barisan mahasiswa (Culla, 1999).

Ketika barisan demonstran telah berkumpul di Trisakti, di tempat lain, ratusan pemuda mulai melakukan aksi menjungkirbalikan dan membakar berbagai kendaraan. Sedangkan para Mahasiswa dan Pelajar yang selesai melakukan apel di kampus Trisakti, langsung menarik diri dan kembali ke kampus masing- masing. Akan tetapi aksi kerusuhan itu terus menyebar ke berbagai penjuru Ibu Kota, keadaan tidak terkendali, kerusuhan tersebut terjadi sampai larut malam. (Culla, 1999).

Keesokan harinya sepuluh dewan mahasiswa di Jakarta mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa aksi-aksi pengrusakan, pembakaran yang terjadi merupakan bentuk-bentuk sifat destruktif, bentuk perbuatan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan perjuangan mahasiswa. Menurut mahasiswa aspirasi mereka sudah jelas serta bisa dibedakan dengan tindakan kerusuhan, para mahasiswa justru ikut berusaha untuk membantu menertibkan keadaan.

Respon Pemerintah Orde Baru

Pasca Malari pemerintah Orde Baru melakukan penangkapan terhadap pemimpin mahasiswa dan tokoh masyarakat yang kritis terhadap kebijakan strategi pembangunan. Pemerintah Orde Baru juga melakukan pembreidelan terhadap beberapa media massa: Harian Nusantara, Harian Kami, Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Suluh Berita dan Mahasiswa Indonesia (Fatah, 2010).

Tetapi pasca Malari strategi kebijkan ekonomi Orde Baru berubah dengan meningkatkan bantuan untuk perusahaan beskala kecil yang dimiliki oleh kalangan pribumi. Dengan meluncurkan dua program kredit yang dikelola langsung oleh Bank Indonesia, yaitu Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), dua program kredit tersebut memberikan pinjaman modal bagi para pengusaha pribumi, sedangkan pengusaha keturunan tionghoa sama sekali tidak di perbolehkan mengambil kedua kredit tersebut (Malarangeng, 2002).

Penutup

Peristiwa Malari memang terjadi puluhan tahun lalu, kita bisa menjadikanya sebuah pelajaran berharga untuk menatap Indonesia di masa datang, bahwa gerakan mahasiswa senantiasa hadir memberikan kritik atas jalannya roda pemerintahan, mereka akan melakukan fungsi kontrolnya ketika fungsi pengawasan dari lembaga legislatif belum berjalan maksimal. Mahasiswa tampil mengisi kekosongan tersebut, dengan menjalankan politik pengawasan berbasis kepada gerakan moral.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Karawang.

Referensi Artikel

1. Aly, Rum. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter : Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung Di Panggung Politik Indonesia 1970-1974. (Jakarta : Penerbit Buku Kompas).

2. Culla, Adi Suryadi. 1999. Patah Tumbuh Hilang Berganti : Sketsa Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia 1980-1998. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999).

3. Cahyono, Heru. 1998. Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998).

4. Daulay, Amir Husain dan Imran Hasibuan (editor), 2011. Hariman dan Malari : Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing. (Jakarta : Q. Communication).

5. Fattah, Eep Saefulloh. 2010. Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru Manajemen Konflik Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok. (Jakarta : Burung Merak Press, 2010).

6. Mallarangeng, Rizal. 2002. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. (Jakarta : KPG).

7. 7. Raillon, Francois. 1984. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia : Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966- 1974. (Jakarta : LP3ES).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya