is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghulam Mujadid

Peranan Islam dalam Ilmu Pengetahuan dan Pemberdayaan Akal

Agama | 2024-07-26 19:55:20
Salah Satu Teman Yang Lulus Wisuda dari IAIN Surakarta, Sekarang UIN Raden Mas Said Surakarta, Mengilustrasikan Pendidikan Itu Merupakan Salah Satu Amanah dari suatu panggilan dan hasrat menuntut ilmu dalam Agama Islam

Islam mendukung atau mengaprsiasi dan menjalankan peran di dalam ilmu pengetahuan dan menjaga keberlangsungan akal sebagai anugrah dari Yang Kuasa. Islam pada mulanya mengubah peradaban arab jahiliah menjadi sebuah negri yang bercorak keagamaan yang khas dan mencapai kegemilangan ilmu dalam peradabanya. Kedudukan akal dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat melebihi agama-agama lain. Akal[1] adalah karunia yang diberikan Allah Swt kepada manusia sebagai suatu daya untuk berfikir dan kemampuan melihat lingkungan. Akal juga merupakan peralatan rohaniyah yang memiliki fungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, dan menilai apakah tindakan manusia itu benar atau salah. Karunia yang satu ini hanya diberikan kepada manusia sehingga dengan menggunakan akal inilah manusia memiliki pengetahuan.

Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qulu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata ‘al-aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-Lughah wa al A’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadabara wa tafakkara (merenung dan berfikir).[2] Akal memiliki makna ‘imsaak, dhabt, hifzh’ (menahan, menjaga), lawan kata dari irsaal, ihmal, tasayyub (melepaskan). Hal itu karena akal adalah alat yang berfungsi sebagai kendalai, yang mampu membentengi manusia dari segala hal yang dapat melepaskannya kedalam kejurang kehinaan.[3] Ibnu Barri mengartikan akal dalam syairnya sebagai suatu yang memberikan kesabaran dan wejangan (mau’idzah) bagi orang yang membutuhkan. Sehingga dikatakan: al-‘Aqil alladzi yahbisu nafsahu wa yarudduha ‘an hawaha (orang yang berakal adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Maka, kata ma’qul (masuk akal) berarti ma ta’qiluhu bi qalbika, yaitu sesuatu yang kamu nalar dengan hati dan qalbumu.[4]

Dalam Buku IRA (Islam Rahmatan Lil ‘alamin) Sub bab Al-Kulliyatul Khamsah (Lima Ajaran) ada ajaran atau pelajaran berupa Hifzu al-‘Aql (menjaga Akal). Caranya adalah dengan menjaga keberlangsungan tugas pokoknya, yaitu berfikir. Agar bisa terus eksis berfikir, akal harus di bekali dengan ilmu pengetahuan. Artinya, segala aktifitas tatsqif harus digalakkan.[5] Hasbi menyebut hifzu al-aql ini dengan sebutan hak kemerdekaan berfikir, mengeluarkan pendapat, dan memperoleh pengajaran dan pendidikan. Premise yang diajukan Hasbi:[6]

“Islam didatangkan Allah untuk memerdekakan akal daripada aneka khufarat, purbasangka dan mengajak manusia kepada menolak segala yang tidak dapat diterima akal. Karenanya seruan-seruan akal Islam bersendikan akal. Al-Qur’an menetapkan adanya Allah dan mengemukakan Islam kepada masyarakat dengan jalan menggunakan pikiran dan akal. Islam menyuruh memikirkan tentang kejadian langit dan bumi dan kejadian manusia itu sendiri.”

Sejak awal kelahiranya, Islam sangat mengedepankan pentingnya penggunaan penalaran yang logis dan ilmiah. Perintah “Iqra” (bacalah) yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw merupakan perintah yang paling rasional dibandingkan perintah manapun. Membaca atau memahami bacaan merupakan sendi utama tegaknya kehidupan. Tanpa membaca, umat Islam tidak akan pernah maju dan mempunyai peradaban unggul. Membaca juga merupakan aktivitas mental-rasional yang mengantarkan siapapun menuju kualitas hidup yang lebih baik.[7]

Al-Qur’an dan Sunnah juga sangat mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan perintah pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya, yaitu perintah membaca, melakukan pembacaan dengan mengatasnamakan Allah (iqra, bismi rabbik) (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-6). Dalam Al-Qur’an sendiri dijumpai penggunaan kata “ilm” sebanyak 854 kali.[8] Kata ‘ilm”,[9] antara lain, digunakan sebagai proses pencapaiaan pengetahuan dan obyek pengetahuan” (Surah Al-Baqarah/2: 31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada sumber-sumber ilmu, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.[10] Ayat-ayat Al-Qur’an (teks) dan ayat-ayat Allah yang ada di alam raya, keduannya secara terpadu, tidak hanya menarik “dibaca” dan dikaji, melainkan juga dapat menjadi sumber dan obyek penelitian dan pengembangan yang tidak pernah lapuk ditelan zaman.

Menurut Nurcholis Madjid, ilmu pengetahuan dan agama mempunyai dua wajah; sosial dan intelektual. Ilmu pengetahuan telah berinteraksi dengan agama, menurut Nurcholis, umat Islam perlu melakukan pembaharuan, karena lewat pembaharuan pemikiranlah, Islam dapat mengisi proses demokrasi yang sedang berjalan, dan mampu menghadapi tantangan global.[11]

Islam datang membawa suatu pencerahan bagi keseluruhan aspek kehidupan terutama pada bagian ini ialah ilmu pengetahuan dan menjaga keberlangsungan akal. Nabi Saw bersabda, “Islam itu unggul atau luar biasa dan tidak ada yang dapat menandingi keluarbiasaannya” (al-Islaam ya’luu wa laa yu’la ‘alaih). Namun sayang kolerasi dengan hal hal yang teraktualisasikan belum sepenuhnya menyeluruh dan maksimal apalagi kaitanya berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan intelektualisme. Dengan kata lain meminjam ungkapan Muhammad ‘Abduh (w. 1905), al-islam mahjub bi al-muslimiin (islam itu terhalangi/dihambat oleh umat Islam itu sendiri).

Menurut Hamka, Agama memotivasi umatnya mencari ilmu pengetahuan bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak. Akan tetapi, lebih dari itu dengan ilmu, manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Dengan demikian, pendidikan terbagi dua, yakni pendidikan ruhani dan pendidikan jasmani. Eksistensi agama dalam diri seseorang untuk melepaskan jiwanya dari keterkungkungan, baik keterkungkungan dalam perbudakan, akal yang terkunci dan tumpul, maupun taklid yang membunuh pikiran, sehingga tidak ada yang membatasi manusia untuk berhubungan langsung dengan Tuhan. Dalam memahami eksistensi manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan, maka perlu juga mengenali dan memahami potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya. Menurut Hamka, ada tiga potensi atau kekuatan yang menjadi motor dan dinamo manusia, yaitu kekuatan ingatan, kekuatan perasaan dan kekuatan kemauan[12].

Ilmu dalam pandangan Islam mempunyai peranan yang sangat besar, dan memimiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Bahkan Islam identik dengan ilmu. Ilmu adalah Islam, dan Islam adalah Ilmu. Islam menjadikan ilmu pengetahuan sebagai syarat dan tujuaannya. Islam menyamakan pencarian ilmu pengetahuan dengan ibadah. Islam sangat memuji orang yang tekun mencari pengetahuan, menjadikan mereka wali dan sahabat Allah, serta menempatkan nilai tintannya di atas nilai darah syuhada.[13]

Ilmu telah terbukti melahirkan budaya yang unik sekaligus daya benah yang paling efektif. Ilmu merupakan unsur utama yang telah memberikan peradaban muslim bentuk dan coraknya yang khas. Bahkan, tidak ada konsep yang telah berjalan sebagai suatu penentu dari peradaban muslim dalam segala seginya sebagaimana ilmu.[14] Demi menguraikan keutamaan ilmu, Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab khusus dalam Kitab Shahih miliknya dengan judul “Al-Ilm Qabla Al-Qauli Wa Al-Amal”, yang inti pembahasannya bahwa ilmu itu asas dari segala sesuatu, baik yang sifatnya perkataan maupun perbuatan. Tanpa ilmu, segala sesuatu itu tiada membawa arti.[15]

Islam adalah agama yang menghargai dan meninggikan derajat orang yang berilmu. Ketahuilah, ada banyak ayat Al-Qur’an yang menegaskan keutamaan ilmu, di antaranya Allah Swt berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ –١١-

Artinya : “Allah akan meninggikan derajat orang beriman yang berilmu di antara kalian dan orang yang dikarunia ilmu beberapa derajat.” (Q.S. al-Mujaadalah [58]: 11)

Ibnu Abbas r.a. berkomentar,”Kedudukan orang yang berilmu 700 derajat lebih tinggi daripada orang yang beriman tetapi tidak berilmu. Jarak untuk menempuh setiap dua derajat mencapai lima ratus tahun perjalanan.”[16]

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ -٩-

Artinya: “Katakan, samakah orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu?” (Q.S. Al-Zumar [39]: 9)

Ilmu itu hanya bisa diperoleh dengan cara belajar (ta’allum). Untuk tercapainya ilmu melalui proses belajar tersebut, diperlukan instrumen pendukungnya, yaitu mencakup empat saluran ilmu, (1) persepsi indra (idrak al-hawass), (2) proses akal sehat (ta’aqqul), serta (3) intuisi hati (qalb), dan (4) melalui informasi yang benar (khabar shadiq). (Dr. Akhmad Alim, M.A., Sains dan Teknologi Islami: 15-16)

Pada hakikatnya, semua ilmu itu datang dari Allah Swt. Maka sesuatu ilmu dan pengetahuan meneguhkan keyakinan akan adanya sebuah eksistensi dan keberadaan dari manifestasi Ke-Maha Besaran dan Ke-Maha Kuasaan, dan bertambahnya kekuhan tentang ketauhidan. Didalam Islam itu sendiri terdapat intergrasi ilmu pengetahuan (science atau dibaca sains) akal dan Wahyu. Ada cakupan dalam wahyu atau Al-Qur’an tentang suatu ayat yang bersifat naqli dan ayat kauni. Ayat-ayat[17] naqli maupun ayat-ayat kaunisesungguhnya merupakan sebuah paparan, yaitu bagaimana Allah Swt mendorong dan memerintahkan manusia untuk membaca realitas eksistensi ciptaan-Nya sebagai medan dan lahan pekerjaan bagi akalnya. Dari manapun akal itu memulai kerjanya, disana akan ditemukan kebenaran Allah Swt. Ini Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah: 115.

وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ -١١٥-

Artinya : Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dimana kamu melakukan observasi disanalah kamu akan menemukan ke Agungan hanya Milik Allah sebagai wujud manifestasi ataupun eksistensi atau keberadaan Allah Yang Maha Agung dan sumber dimana Allah memuliakan dan menurunkan ilmu. Mengingat[18] betapa dalamnya kandungan ayat-ayat Allah Swt, jangkauaan akal manusia sesungguhnya terbatas. Manusia tidak mampu menguasai semua eksistensi alam dan kebenaran yang dicapai hanya relatif. Artinya, selalu berubah sesuai denga konteks ruang dan waktu kehidupan manusia, tidak absolut, dan tidak mutlak sebagaimana kebenaran yang ada pada ayat-ayat Allah Swt. Sains[19] itu tidak tebatas . batasanya ialah sains Allah yang tidak terhingga (karena itutidak terjangkau manusia). Dan manusia tidaklah diberi Allah sains sedikit saja. Maka dari itu manusia harus terus –menerus menambah sainsnya yang hanya sedikit itu , dengan menembus perbatasan (frontier) sains yang ada: harus selalu melakukan pembaruan dan penambahan sains dengan temuan-temuan baru atau inovasi (tajdid) terus-menerus.

Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan (sains) sangatlah erat dan tak terpisahkan sebagaimana di ungkapkan tokoh-tokoh muslim. Pertama,[20] al-Qur’an adalah sumber sains. Pendapat ini di dukung salah satunya oleh Al-Ghazali. Dalam Ihya Ulumuddin, beliau mengutip Ibnu Mas’ud yang mengatakan:”Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan mengenai masa depan dan masa lampau, selayaknya ia merenungi al-Qur’an.” Kedua, menurut Golshani, pandangan serupa juga disampaikan Jalaluddin As-Suyuthi. Dalam Al-Ithaqan Fi Ulumil Qur’an, As-Suyuthi berpendapat bahwa al-Qur’an telah melingkupi semua ilmu.

Seperti di kemukakan Nasr dalam Islamic Science: An Illustrated (1976, h. 9): “Sain islam muncul dari perkawinan antara semangat yang terbit dari wahyu Qur’ani dengan sains yang ada dari berbagai peradaban, yang diwarisi Islam yang ditelaah diubah-bentuk melalui kekuatan rohaniyahnya menjadi suatu substansi baru; yang berbeda dan sekaligus melanjutkan apa yang telah ada sebelumnya. Sifat internasional dan cosmopolitan wahyu Islam-yang bersumber dari karakter universal wahyu Islam dan tercermin dalam penyebaran geografis Islam (daar al-Islaam)-membuat Islam mampu menciptakan sains yang pertama yang benar-benar bersifat international dalam sejarah manusia.”

[1] Ahmad Taufik, dkk. Pendidikan Agama Islam. Cakrawala Media. (Surakarta: Juli 2015). Cetakan ke-2. Hal 249

[2] Dr. Sudarno Shobron, M.Ag., dkk. Studi Islam 3: Seri Buku Pegangan Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. LPIK UMS. (Surakarta: Juli 2013). Cetakan ke-11. Hal 4

[3] Dr. Akhmad Alim, M.A. Sains dan Teknologi Islami. PT Remaja Rosdakarya. (Bandung: Desember 2014). Cetakan ke-1. Hal 25

[4] Ibnu Manzhur al-Ifriqi al-Mashri, 2005. Lisan al-‘Arab, (9 jilid), Dar al-Shadir, Cetakan V, Beirut, bab: ‘Ayn-qaf-lam. Dalam (Dr. Akhmad Alim, M.A. Sains dan Teknologi Islami. PT Remaja Rosdakarya. (Bandung: Desember 2014). Cetakan ke-1. Hal 26-27)

[5] Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Buku Rujukan Guru PAI Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kementrian Agama RI, Direkorat Jendral Pendidikan islam pada Sekolah. 2011. Hal 81

[6] Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Buku Rujukan Guru PAI Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kementrian Agama RI, Direkorat Jendral Pendidikan islam pada Sekolah. 2011. Hal 83

[7] Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Buku Rujukan Guru PAI Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kementrian Agama RI, Direkorat Jendral Pendidikan islam pada Sekolah. 2011. Hal 21

[8] Kata-kata lain yang terkait dengan ilmu yang juga di gunakan al-Qur’an adalah ra’yu (melihat, berpendapat, mengamati, menyelidiki) disebut 332 kali, bashar (melihat, memahami, memperhatikan) digunakan sebanyak 149 kali, nazhar (nalar, memperhatikan, memikirkan) sebanyak 99 kali, dan kata arafa (mengetahui, memahami) sebanyak 19 kali, kata hub yang berarti kekal atau nalar sebanayk 6 kali, dan kata hikmah (kebijaksanaan, filsafat, kearifan) disebut ulang 16 kali. Periksa Muhammad Fuad al-Baqi, al-Mu’jam a-Mufahras li Alfazh al-Qur,an an-Karim. (Beirut, Dar al-Fiqr, 1992) Dalam (Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Buku Rujukan Guru PAI Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kementrian Agama RI, Direkorat Jendral Pendidikan islam pada Sekolah. 2011. Hal 22)

[9] Kata “ilm” secara linguistic berasal dari kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan “alamah”, yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi, label, cirri-ciri;indikasi dan tanda-tanda”. Dengan demikian, ma’lam (jamak: ma’alim) berarti rambu-rambu jalan”, atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbingnya atau sesuatu yang membimbing dirinya atau sesuatau yang membimbing seseorang”. “Alam” juga berarti petunjuk jalan. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah ayat yang secara litelar berarti ‘tanda” merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena alam. Oleh kaena itu, sejak dulu umat Islam mengganggap ilmu berarti al-Qur’an: syariat, sunnah, Islam: ilmu spiritual (ilm ladunni), hikmah dan marifah: atau sering juga disebut cahaya (nur), pikiran (fikr) sains. Dan pendidikan –yang kesemuanya menghimpun semua hakikat ilmu. Lihat Ahmad ibn Faris, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, Tahqiq Syihab al-Din ibn Abu ‘Amr, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998). Cet. II. h. 689. Lihat juga Wan Mohd. Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. (Bandung: Mizan, 2003). Cet. I. H. 144. Dalam (Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Buku Rujukan Guru PAI Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kementrian Agama RI, Direkorat Jendral Pendidikan islam pada Sekolah. 2011. Hal 22)

[10] M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat. (Bandung : Mizan, 1996). Cet. Ke-12. h. 62. Dalam (Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Buku Rujukan Guru PAI Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kementrian Agama RI, Direkorat Jendral Pendidikan islam pada Sekolah. 2011. Hal 23)

[11] Nurcholis Majid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. (Bandung: Mizan, 1987), 59

[12] jurnal.radenfatah.ac.id › intizar › article › download

[13] Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 262. Dalam (Dr. Akhmad Alim, M.A. Sains dan Teknologi Islami. PT Remaja Rosdakarya. (Bandung: Desember 2014). Cetakan ke-1. Hal 2)

[14] Lihat Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, edisi baru (Leiden:E.J. Brill, 2007), 2 dan 340-1. Dalam (Dr. Akhmad Alim, M.A. Sains dan Teknologi Islami. PT Remaja Rosdakarya. (Bandung: Desember 2014). Cetakan ke-1. Hal 2)

[15] Dr. Akhmad Alim, M.A. Sains dan Teknologi Islami. PT Remaja Rosdakarya. (Bandung: Desember 2014). Cetakan ke-1. Hal 2

[16] Diterjemahkan dari Mukhtasar Ihyaa’ ‘Ulumudin, karya Imam al-Ghazali, PT Serambi Semesta Distribusi, (Jakarta:2016) Cetakan 1, hal 21-22

[17] Ahmad Taufik, dkk. Pendidikan Agama Islam. Cakrawala Media. (Surakarta: Juli 2015). Cetakan ke-2. Hal 257

[18] Ahmad Taufik, dkk. Pendidikan Agama Islam. Cakrawala Media. (Surakarta: Juli 2015). Cetakan ke-2. Hal 258

[19] Dr. Sudarno Shobron, M.Ag., dkk. Studi Islam 3: Seri Buku Pegangan Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. LPIK UMS. (Surakarta: Juli 2013). Cetakan ke-11. Hal 64

[20] Ahmad Taufik, dkk. Pendidikan Agama Islam. Cakrawala Media. (Surakarta: Juli 2015). Cetakan ke-2. Hal 118

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya