is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

UU Pilkada : Memurnikan Pancasila Atau Memurnikan Konflik Kepentingan?

Politik | 2024-04-17 05:12:45

Perdebatan seputar Undang-Undang Pilkada sering kali melibatkan dua sudut pandang yang berbeda. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk memurnikan dasar negara Pancasila dengan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi publik, dan keadilan dalam pemilihan kepala daerah. Di sisi lain, ada yang mengkritik undang-undang tersebut karena dianggap sebagai alat untuk memurnikan konflik kepentingan, khususnya terkait dengan persaingan politik antarpartai dan elit politik.
Pendukung Undang-Undang Pilkada berargumen bahwa dengan memberikan kesempatan langsung kepada rakyat untuk memilih kepala daerah, undang-undang tersebut mendukung prinsip demokrasi yang diakui secara internasional. Mereka juga berpendapat bahwa partisipasi publik yang lebih besar dalam pemilihan kepala daerah dapat memperkuat legitimasi pemerintahan daerah dan mendorong akuntabilitas.
Di sisi lain, kritikus Undang-Undang Pilkada mengkhawatirkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, politisasi proses pemilihan, dan peningkatan konflik kepentingan antara partai politik dan elit politik. Mereka menganggap bahwa sistem langsung pemilihan kepala daerah dapat memperburuk polarisasi politik dan memunculkan praktik politik yang tidak sehat, seperti politik uang dan politik identitas.
Dengan demikian, perdebatan seputar Undang-Undang Pilkada mencerminkan kompleksitas tantangan dalam membangun sistem politik yang demokratis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sambil tetap memperhatikan risiko dan konsekuensi yang terkait.

Tentunya Mempertemukan dua perdebatan ini tentunya tak akan menemukan ujungnya. Tak ada yang substansi dalam perdebatan kedua sisi ini, karena yang terjadi hanya memperdebatkan teknis pemilihan dari kepala daerah (maupun Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden sekalipun). Hampir tak ada perdebatan soal bagaimana berdemokrasi yang baik di negara ini.

Bagi Bung Karno, demokrasi kita yaitu Demokrasi Pancasila, yang berarti demokrasi yang memperjuangkan kesetaraan rakyatnya dibidang ekonomi dan politik, itulah yang dimaksud dengan Sosio Demokrasi ala Bung Karno.

Soal inilah yang kemudian tidak menjadi salah satu poin perdebatan dalam UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 ini.

Ada yang mengatakan juga, bahwa dengan memilih langsung pemimpinnya maka rakyat telah berdaulat atas pilihan politik mereka. Akan tetapi menjadi pertanyaan, apakah rakyat marhaen hari ini telah berdaulat dalam hal ekonomi mereka? Sampai hari ini tak ada survey yang menjelaskan bahwa dengan pemilihan langsung akan berbanding lurus dengan meningkatnya kehidupan ekonomi rakyat Indonesia.

Ada juga yang mengatakan, bahwa selama ini kita telah melenceng jauh ke arah alam liberal, maka dari itu kita harus mengembalikan demokrasi kita ini ke demokrasi yang sesungguhnya yaitu, Demokrasi Pancasila. Pertanyaannya kemana saja saat mereka berkuasa? Di era Orde Baru (hingga sekarang) berkuasa pendelegitimasian esensi Pancasila justru gencar dilakukan.

Inilah demokrasi kita sekarang ini. Yang tampak hanyalah dari kegaduhan para elit politik yang berebut jatah kekuasaan, sementara rakyatnya makin jauh dari proses pengambilan kebijakan ekonomi politik bangsanya.

Sekali lagi, para pendiri bangsa ini telah lama menggariskan bahwa demokrasi Indonesia harus mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Di lain sisi, rakyat marhaen diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam kebijakan politik, akan tetapi di sisi yang lain, rakyat juga harus diberikan hak yang seluas-luasnya untuk mengontrol alat-alat produksi ekonomi bangsa ini (semangat pasal 33 UUD 1945).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya