is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ikhsan Kamil

Sejarah KH. Mahbub Djunaidi

Sejarah | 2023-12-25 00:15:53

SEJARAH KH. MAHBUB DJUNAEDI

BIOGRAFI KH.MAHBUB DJUNAEDI

Latar Belakang Kehidupan Kh.Mahbub Djunaedi

Sosok Mahbub Djunaidi tidaklah asing bagi kalangan jurnalistik, kaum Nahdliyyin (sebutan warga pengikut Nahdlatul Ulama), dan para politikus. Mahbub Djunaidi, seorang tokoh yang lahir di Jakarta pada tanggal 27 juli 1933 atau 3 Robiul Akhir 1352 H ini merupakan tokoh yang aktif dalam dunia tulis-menulis, berorganisasi dan politik.

Mahbub Djunaidi lahir dari keluarga yang juga aktif dibidang politik. Mahbub Djunaidi adalah anak pertama dari 13 bersaudara pasangan dari H. Djunaidi dan ibu Muchsinati. Ayahnya merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah menjadi anggota DPR hasil pemilu tahun 1955. Ayahnya juga sebagai kepala biro peradilan pada kementerian agama yang setiap awal bulan Ramadlan dan malam Idul Fitri mengumumkan hasil rukyah melalui radio.

Garis keturunan Mahbub Djunaidi dari pihak ibu adalah Intern Louis atau Muhammad Alwi yang menikah dengan gadis lokal Indonesia (Nenek Mahbub). Sedangkan nama kakek dari pihak ayah adalah Abdul Aziz bin Sainan dan neneknya bernama Siti Hasanah. Mahbub yang lahir dari pasangan H. Djunaidi dan ibu Muschsinati ini adalah anak yang pertama dari 13 bersaudara. Menurut isfandiari mahbub Djunaidi, salahsatu putra dari Mahbub Djunaid menyebutkan dengan singkat beberapa saudara dari Mahbub diantaranya adalah Muhibbah, Mohammad Izzi, Masfufah, Kuupa, Masyrafah, Opah, Sofie, Masykur dan Yayoh dan saudara kembarnya. Mahbub Djunaidi yang lahir pada saat indonesia masih dalam masa penjajahan harusikut merasakan kesengsaraan akibat kebijakan-kebijakan Belanda. Akibatnya, Mahbub harus ikut beberapa kali pindah dari Jakarta ke Solo karena adanya pertempuran fisik antara Belanda dan para pejuang Indonesia.

Mahbub menghabiskan masa kecilnya di kampung Kauman Solo, beliau bergaul dengan anak-anak kampung dan bahkan sering bermain bola dengan raja Solo. Mahbub Djunaidi memiliki hobi menulis, kegemarannya menulis sudah di asah ketika beliau masih kecil, beliau diperkenalkan oleh gurunya karya-karya modern seperti karyanya Sutan Takdir Alisjahbana, Karl Mark dll. Kegemarannya menulis terus dikembangkan sampai pada akhirnya beliau menjadi seorang penulis dengan ciri khas tersendiri. Banyak karya-karya sastra yang dihasilkan oleh Mahbub Djunaidi. Mahbub pernah mengaku lebih menyukai sastra daripada jurnalistik.

Dalam urusan menulis, beliau pernah berstatment bahwa “saya akan terus menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu lagi menulis”. Dari ungkapan Mahbub tersebut menunjukkan sikap yang sangat tegas dalam urusan tulis menulis. Dengan tulisan beliau yang mempunyai gaya khas yang tidak dimiliki oleh penulis lain itulah beliau mendapat julukan “Sang Pendekar Pena”, sebutan itu tidaklah berlebihan di anugerahkan kepada Mahbub Djunaidi dengan kepiawaiannya dalam urusan tulis-menulis. Selain mempunyai kegemaran dalam bidang tulis menulis, Mahbub Djunaidi juga mempunyai beberapa hobi lain diantaranya adalah beliau gemar sekali berenang, beliau juga sangat sayang terhadap binatang, hobi memelihara binatang ini sudah mulai dari kecil. Binatang peliharaannya mulai dari ayam, kuda bahkan monyet juga dipelihara oleh Mahbub.

Mahbub Djunaidi juga merupakan seorang yang sangat dekat dengan orangorang besar di indonesia, diantaranya Mahbub sangat dekat dengan orang nomor satu di Indonesia waktu itu yakni Ir. Soekarno, Gus Dur, KH, As’ad Samsul Arifin Situbondo, dan kiai pesantren lainnya. Dari kedekatan dengan orang-orang besar inilah Mahbub banyak mendapatkan pengalaman dan pelajaran baru yang mengantarkan beliau menjadi orang besar pula.

Hj. Hasni Asjmawi Djunaidi, sang istri yang dinikahi pada tanggal 24 September 1960. Hasni Asjmawi adalah seorang putri dari seorang anggota konstituante bernama KH. Asjmawi, berasal dari Bukittinggi yang menetap dibandung. Pernikahan tersebut berlangsung setelah Mahbub dan kawan-kawan berhasil mendirikan organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) sebagai wadah aspirasi genarasi muda NU ditingkat mahasiswa. Dari pernikahannya Mahbub dengan Hj. Hasni Asmawi dikaruniai tujuh orang anak, tiga putri dan empat putra yakni Fairuz Djunaidi, Tamara Hanum Djunaidi, Mirasari Djunaidi, Rizal djunaidi, Isfandiari Mahbub Djunaidi, Yuri Djunaidi dan Verdi Haikal Djunaidi.

Mahbub Djunaidi juga pernah ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan, karena Mahbub selalu melancarkan kritik-kritik pedasnya kepada pemerintah orde baru melalui tulisan-tulisannya. Selama dipenjara tidak membuatnya kapok dan berhenti menulis, melainkan banyak karya-karya yang dihasilkan ketika beliau didalam tahanan.

Selain dalam urusan jurnalistik beliau juga ahli politik dan aktif di berbagai organisasi. Menurut sahabatnya, Said Budairy, Mahbub adalah seorang yang mempunyai human-relationship bagus, jika berbincang menarik perhatian temantemannya karena selain berisi juga kocak, kepribadiannya menarik,selalu konsisten dalam berpendirin, amanah, makanya selalu dipemimpinkan orang. Kiai Djunaidi yang juga tokoh ulama NU dan merupakan teman dekat dari putera pendiri organisasi terbesar di ndonesia yakni KH. Abdul Wahid Hasyim juga mengabdikan dirinya untuk Nahdlatul Ulama sampai beliau wafat. Hal ini pula yang dilakukan oleh Mahbub, beliau sangat aktif dalam organisasi NU bahkan sampai akhir hayatnya.

Pada tanggal 1 Oktober 1995 Pukul 03.00, Mahbub Djunaidi meninggalkan dunia pada usia 63 tahun. Mahbub Djunaidi Meninggalkan Istri, ibu Hasni dan tujuh orang anak. Kemudian pada tanggal 18 september 2012,sang istri tercinta ibu Hasni menghembuskan nafas terakhirnya di usia ke 71 tahun.10 Meskipun Mahbub sudah tidak ada lagi tetapi pemikiran, pengabdian dan karya-karyanya tidak akan pernah ikut mati, hal ini dibuktikan dengan tetap eksisnya organisasi yang didirikan beliau yakni PMII yang terus meneladani semangat Mahbub dan tulisanya banyak dikagumi oleh semua kalangan masyarakat Indonesia. Berbagai karya dan karangan Mahbub baik berupa novel, sastra dan terjemahan antara lain adalah politik tingkat tinggi kampus, Mahbub Djunaidi AsalUsul, Humor Jurnalistik, Kolom Demi Kolom, Angin Musim, Dari Hari ke Hari, 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah (terjemahan dari buku Michael H. Hart), Binatangisme (terjemahan dari buku George Orwell), Dikaki Langit Gurun Sinai (terjemahan dari buku Hassanein Heikal), Cakar-Cakar Irving (terjemahan dari buku Art Buchwald). Selain dalam bentuk buku, Mahbub juga menciptakan Mars antaranya Mars PMII dan Mars GP Anshor yang terus dikumandangkan sebagai penyemangat dan membentuk jiwa para kader.

Pendidikan Kh.Mahbub Djunaedi

Mahbub Djunaidi yang lahir di kalangan ulama dan pesantren yang basis pendidikannya lebih ke pendidikan keagamaan. Beliau adalah sosok yang sangat cerdas diantara saudara-saudaranya. Kegigihannya dalam segala hal termasuk dalam dunia pendidikan mengantarkan beliau menjadi seorang tokoh nasional yang mempunyai beberapa bakat dan pemikiran yang dibutuhkan indonesia dalam berbagai permasalahn bangsa, termasuk bidang politik. Mahbub Djunaidi mendapatkan pendidikan pertamanya dari keluarganya terutama dari ayahnya, Kiai Djunaidi. Seperti dijelaskan diatas bahwa Kiai Djunaidi adalah seorang tokoh Ulama NU yang banyak berteman dengan tokoh-tokoh NU. Kiai Djunaidi mengajarkan ilmu-ilmu agama islam sebagai dasar awal sebelum beliau masuk sekolah formal.

Pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1948, tepatnya ketika masa revolusi fisik terjadi yaitu agresi militer Belanda I, keluarga Mahbub mengungsi ke Solo. Mahbub mulai pendidikannya di solo dari Sekolah Dasar sampai lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia juga sempat belajar di Madrasah Mambaul Ulum, di Madrasah ini oleh seorang gurunya diperkenalkan dengan karya-karya modern, seperti Sutan Takdir Alysjahbana, Mark Twain dan Karl Marx. Darisinilah Mahbub mulai belajar dari karya-karya tokoh dunia dan akhirnya beliau sangat gemar dalam hal tulis-menulis. Setelah lulus SMP Mahbub diajak pindah ke Jakarta oleh orang tuanya dan meneruskan pendidikannya di SMA Budi Utomo. Kegemaran menulisnya semakin berkembang.

Tulisannya banyak dimuat diberbagai media ibukota. Beliau juga yang mempunyai inisiatif untuk membuat majalah siswa dan beliau yang bertugas sebagai pimpinan redaksinya. Karena begitu gemarnya menulis Mahbub pernah berstatement “Saya akan menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu lagi menulis”. Dimulai dari menulis dimajalah siswa pada saat masih bersekolah di SMA Budi Utomo akhirnya beliau mengembangkan bakat menulisnya dengan menulis berbagai cerpen, dan esai yang banyak dimuat di majalah Siasat, Mimbar Indonesia.

Gaya menulisnya yang kocak dan penuh humoris tetapi berisi menjadikan ciri khas tersendiri dari tulisan Mahbub. Hal inilah yang banyak digemari oleh pembacabahkan presiden Ir. Soekarno juga sangat kagum dengan tulisan-tulisan Mahbub. Mahbub juga pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, namun hanya sampai tingkat II. Beliau terpaksaberhenti melanjutkan pendidikannya karena pada saat itu beliau harus kehilanganayahandanya, H. Djunaidi yang meninggal pada usia 45 tahun yang sebelumnyasang istri, Muchsinati juga meninggal pada usia yang relatif muda yaitu 30 tahun.

Rasa tanggung jawab sebagai anak pertama bersama 12 saudaranya. Mahbub merelakan pendidikannya harus terhenti dan harus menjadi tulang punggung keluarganya. Beliau lebih mementingkan masa depan adik-adiknya. Karena kehidupan yang begitu berat yang harus dihadapi oleh Mahbub maka beliau terus berusaha untuk menghidupi keluarganya tanpa rasa mengeluh dan rasa putus asa.

Karir Politik dan Organisasi Kh.Mahbub Djunaedi

Di samping profesinya sebagai wartawan dan kolumnis, Mahbub juga sangat aktif dalam organisasi dan politik. Dalam dunia organisasi mula-mula Mahbub Djunaidi menjadi ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) pada tahun 1952 sewaktu beliau masih dibangku SMP. Selama Sekolah Menengah Atas, Mahbub sudah bergabung ke dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi kader partai NU.

IPNU yang lahir pada tanggal 24 Februari 1954 M/ 20 Jumadil Akhir 1373 ini merupakan wadah bagi pelajar NU yang masih muda dan masih duduk di bangku sekolah. IPNU berkembang cukup pesat karena berada dilingkungan sekolah-sekolah NU. Keberadaan IPNU memiliki posisi yang sangat penting sebagai wahana kaderisasi pelajar NU sekaligus alat perjuangan dalam menempatkan pemuda sebagai sumberdaya insani yang sangat vital.

Keikutsertaan Mahbub di IPNU dijelaskan oleh Said Budairy dalam tulisannya yang dimuat dalam koran KOMPAS. Diawal tahun 1950-an Mahbub berkenalan dengan A. A. Murtadho yang ketika itu menjadi ketua perwakilan PP IPNU di Jakarta karena pemimpin pusatnya berada di Yogyakarta. Dari perkenalan itulah Mahbub akhirnya sangat tertarik dan bergabung didalam IPNU, dan kemudian duduk sebagai salah satu fungsionaris perwakilan pengurus pusat.

IPNU yang secara formal adalah organisasi pelajar NU yang aktivitasnya sangat terbatas disekitar dunia pelajar. Kenyataannya di IPNU juga berhimpun para mahasiswa NU, kendati saat itu sangat terbatas jumlahnya. Setelah gagasan untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU tidak disetujui pada Muktamar ke II IPNU tahun 1957 di Pekalongan, akhirnya pada tanggal 14-16 Maret 1960 di Kaliurang diselenggarakan Konbes (Konferensi Besar) I IPNU dan tanggal 14-16 April tahun 1960 diSurabaya dilangsungkan musyawarah mahasiswa NU se Indonesia untuk membidani lahirnya PMII.

Mahbub Djunaidi yang telah keluar dari HMI dan ikut membidani berdirinya PMII pada tahun 1960 hasil dari musyawarah mahasiswa NU seIndonesia merupakan ketua umum PMII periode pertama. Musyawarah mahasiswa NU itu juga menetapkan 3 orang formatur yang ditugasi menyusun kepengurusan. Mereka adalah H.Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, A. Cholid Mawardi Sebagai ketua satu dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum dan menetapkan Peraturan Dasar PMII yang berlaku mulai tanggal 17 April 1960. Tanggal ini dinyatakan sebagai tanggal PMII lahir.

Dibawah kepemimpinan Mahbub PMII yang baru lahir terus mengalami perkembangan. Hal ini terbukti pada saat kongres pertama PMII tahun 1961 yang menetapkan ketiga formatur kepengurusan tersebut yang dihadiri 13 cabang mengalami perkembangan pada kongres ke II PMII yang dilksanakan di yogyakarta yang dihadiri 31 cabang dan 18 cabang baru, sekaligus memilih Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum PMII (PB PMII) kembali pada periode 1963-1966. Berarti Mahbub dipercaya untuk memimpin PMII selama dua periode yakni periode pertama 1960-1963 dan periode kedua 1963-1966.

Selama kepemimpinannya di PMII beliau banyak memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pergerakan yang baru lahir tersebut. Semangat dan perjuangan yang ditanamkan oleh Mahbub kepada kader-kader mahasiswa terus melekat sampai saat ini. salah satu kontribusinya sang masih terus dikumandangkan ketika organisasi pergerakan melakukan kegiatan ataupun aksi adalah mars PMII. Salah satu cara membentuk jiwa dan menempa semangat kader adalah melalui lagulagu, Khususnya lagu mars organisasi. Dia sendiri yang menyusun lirik lagu Mars PMII, lagu yang selalu dinyanyikan pada setiap kesempatan dan pada saat akan memulai acara penting PMII. Isi Mars tersebut adalah:

Inilah kami wahai Indonesia

Satu barisan dan satu cita

Pembela bangsa penegak agama

Tangan terkepa dan maju kemuka

Habislah sudah masa yang suram

Selesai sudah derita yang lama

Bangsa yang jaya Islam yang benar

Bangun tersentak dari bumiku subur

Denganmu PMII

Pergerakanku Ilmu dan bakti ku berikan

Adil dan makmur kuperjuangkan

Untukmu satu tanah airku

Untukmu satu keyakinanku,

Setelah pergantian pengurus pusat PMII pada kongres ke III, Mahbub sudah tidak menjabat sebagai ketua umum dan digantikan dengan sahabatnya M. Zamroni. Mahbub diminta untuk membantu untuk ikut berjuang dan mengembangkan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Dari sifat keseriusan dalam segala hal yang ditangani akhirnya beliau sempat menduduki puncak kepemimpinan di GP Ansor sebagai organisasi kader NU dikalangan pemuda. Beliau jugalah yang menciptakan Mars GP Ansor yang selalu dinyanyikan sebagai pengobar semangat kaum pemuda NU.

Setelah Mahbub aktif di organisasi BANOM (Badan Otonom) NU, diantaranya IPNU, PMII dan GP Ansor, Mahbub juga aktif di organisasi induk NU sebagai sekjen PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dan wakil ketua PBNU ketika Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidziyahnya. Dalam urusan politik, Mahbub juga menjabat sebagai anggota DPR- GR/MPRS sejak tahun 1960 dari fraksi partai NU dan dari fraksi PPP hasil pemilu1977. Kedudukannya dilembaga tinggi kenegaraan ini dimanfaatkan oleh Mahbub untuk memperjuangkan pers dengan melahirkan Undang-undang tentang ketentuanpokok pers.

Setelah partai NU berfusi ke PPP, karena peraturan dari pemerintah untuk menjadikan partai-partai Islam bergabung dalam satu wadah, Mahbub langsung menduduki posisi penting dalam partai yakni sebagai wakil ketua DPW PPP dan sebagai wakil ketua Majlis Pertimbangan Partai (MPP) PPP. Bahkan setelah NU memisahkan diri dari PPP dan memutuskan kembali ke Khittah NU 1926, Mahbub tetap berada di PPP karena beranggapan bahwa dengan politik maka tujuan yang dicita-citakan oleh negara dan agama akan lebih cepat tercapai.

Khittah Plus adalah salah satu gagasan Mahbub dalam urusan politik. Setelahadanya keputusan kembali ke Khittah NU 1926 pada muktamar ke 27 disitubondo,mahbub merupakan golongan yang tidak menyetujui dengan keputusan tersebut. Adanya keputusan kembali ke Khittah 1926 sebagai wakil ketua Majlis Pertimbangan Partai (MPP) PPP. Bahkan setelah NU memisahkan diri dari PPP dan memutuskan kembali ke Khittah NU 1926, Mahbub tetap berada di PPP karena beranggapan bahwa dengan politik maka tujuan yang dicita-citakan oleh negara dan agama akan lebih cepat tercapai.

Khittah Plus adalah salah satu gagasan Mahbub dalam urusan politik. Setelahadanya keputusan kembali ke Khittah NU 1926 pada muktamar ke 27 disitubondo,mahbub merupakan golongan yang tidak menyetujui dengan keputusan tersebut. Adanya keputusan kembali ke Khittah 1926 merupakan batasan gerak untuk berpolitik secara menyeluruh. Sedangkan Mahbub adalah seorang politisi yang paham terhadap kondisi dan watak tokoh NU. Mahbub tetap berkeinginan meskipun kembali ke Khittah 1926 tetapi tokoh NU jangan sampai meninggalkan poilitik praktis. Tetapi hal tersebut belum mendapatkan respon yang bagus karena mereka masih percaya dengan KH. Ahmad Sidiq selaku Rais Aam (kedudukan tertinggi di kepengurusan NU).

Di sela-sela kesibukannya mengurusi partai dan NU, Mahbub juga sering keluar masuk dibeberapa perguruan tinggi sebagai pemateri ataupun tamu undangan dalam acara-acara kemahasiswaan terkait isu-isu negara. Hal ini merupakan kepedulian Mahbub terhadap generasi muda yang aktif untuk memperjuangkan keadilan. Dalam hal ini tidaklah aneh karena latar belakang Mahbub adalah seorang aktifis yang membesarkan namanya lewat organisasi kemahasiswaan yakni PMII. merupakan batasan gerak untuk berpolitik secara menyeluruh. Sedangkan Mahbub adalah seorang politisi yang paham terhadap kondisi dan watak tokoh NU. Mahbub tetap berkeinginan meskipun kembali ke Khittah 1926 tetapi tokoh NU jangan sampai meninggalkan poilitik praktis. Tetapi hal tersebut belum mendapatkan respon yang bagus karena mereka masih percaya dengan KH. Ahmad Sidiq selaku Rais Aam (kedudukan tertinggi di kepengurusan NU).

Di sela-sela kesibukannya mengurusi partai dan NU, Mahbub juga sering keluar masuk dibeberapa perguruan tinggi sebagai pemateri ataupun tamu undangan dalam acara-acara kemahasiswaan terkait isu-isu negara. Hal ini merupakan kepedulian Mahbub terhadap generasi muda yang aktif untuk memperjuangkan keadilan. Dalam hal ini tidaklah aneh karena latar belakang Mahbub adalah seorang aktifis yang membesarkan namanya lewat organisasi kemahasiswaan yakni PMII.

Pembahasan Tentang Kh.Mahbub Djunaedi

Khidmat Pergerakan Mahbub Djunaidi (1960-1967)

Mahbub Djunaidi, seorang putra asli Betawi Tanag Abang, lahir di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1933 (Djunaidi, 2020). Pemikiran politik Mahbub tidak bisa dilepaskan dari lingkungan tempat dimana ia tumbuh. Mahbub yang tumbuh dan besar di lingkungan suku Betawi daerah Tanah Abang, digambarkan oleh Isfandiari MD, memiliki prinsip egaliter dan jauh dari kesan feodalistik. Prinsip tersebut yang kemudian mendasari pemikiran demokrasi ala Mahbub dalam berpolitik (Djunaidi, 2020). Mahbub juga aktif dalam berbagai organisasi, yang menjadi tempat dalam mengaktualisasikan pemikiran politiknya.

Pendidikan SMA dilaksanakan di SMA Budi Utomo (sekarang SMAN 1 Jakarta). Mahbub menginisiasi berdirinya majalah siswa dan bertindak sebagai pemimpin redaksi majalah tersebut. Selain itu, Mahbub kemudian bergabung kedalam Ikatan Pelajar Nahdlatul’ Ulama (IPNU). Menurut Said Budairy, Mahbub mengenal IPNU melalui A.A. Murtahdho, yang merupakan pimpinan IPNU Jakarta (Kompas, 1995). Selepas menamatkan sekolah di SMA Budi Utomo, Mahbub melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Semasa kuliah, Mahbub bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, yang selanjutnya disebut dengan HMI.

Capaian tertinggi Mahbub adalah menjadi ketua Departemen Pendidikan PB HMI 1957-1960. Adapun alasan bergabungnya Mahbub dengan HMI adalah karena organisasi tersebut merupakan satu-satunya wadah bagi mahasiswa Islam saat itu. Salah satu keputusan yang dihasilkan oleh Konbes IPNU pada tanggal 14-16 Maret 1960 di Yogyakarta, adalah kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi yang menjadi entitas kalangan mahasiswa NU yang terpisah secara struktural dengan IPNU (Alfas, 2015:2). Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, dipilih 13 orang dengan tugas melaksanakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Surabaya, ke-13 orang tersebut adalah: 1). Chalid Mawardi; 2). M. Said Budairy; 3). M. Sobich Ubaid; 4). M. Makmun Syukri B.A; 5). Hilman; 6). Isma’il Makky; 7). Munsif Nahrawi; 8). Nuril Huda Suaidy HA; 9). Laily Mansur; 10). Abd. Wahab Jailani; 11). Hisbullah Huda; 12). M. Cholid Narbuko; 13). Ahmad Husain. Menurut Chatibul Umam, salah seorang pendiri Cabang PMII Ciputat, cabang tersebut dibentuk melalui ajakan pintu ke pintu dan penyebaran gagasan melalui tulisan dan diskusi. Sampai sekitar terkumpul 57 orang calon anggota sebelum dikirimkan surat permohonan pembentukan Cabang PMII Ciputat kepada PP PMII (Umam, 2020). Dalam momentum pengukuhan Cabang PMII Ciputat, Mahbub menyampaikan bahwa Ciputat merupakan cabang istimewa, disebabkan sebagai cabang pertama yang dikukuhkan oleh PP PMII.

Tahun pertama memimpin PMII, Mahbub mempersiapkan konsepsi, konsolidasi, memperkenalkan organisasi, dan mempersiapkan segala kebutuhan PMII menuju penyelenggaraan kongres pertama (Alfas, 2015:4). Satu tahun memimpin PMII dalam masa persiapan, Mahbub mengukuhkan 13 cabang baru di berbagai kabupaten/kota. Atas capaian tersebut, Mahbub membawa PMII menjadi salah satu organisasi mahasiswa yang cukup disegani.

Pada tanggal 23-26 Desember 1961, PMII menyelenggarakan kongresnya yang pertama. Kongres I PMII bertempat di Tawangmangu, Surakarta, Jawa Tengah. Dalam kongres tersebut, dihadiri perwakilan 13 cabang PMII yang telah dikukuhkan. Melalui kongres ini PMII memberikan sebuah pernyataan sikap yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Tawangmangu. Deklarasi tersebut adalah sebuah pernyataan sikap dan prinsip organisasi PMII yang bersandar pada sosialisme Indonesia, pendidikan Nasional, kebudayaan Nasional, dan pertanggungjawaban sebagai generasi penerus bangsa. Deklarasi Tawangmangu adalah monument intelektual yang menjadi kontribusi pemikiran Mahbub sebagai ketua umum PMII. Dalam kongres tersebut, Mahbub kembali terpilih sebagai ketua umum PMII meski tanpa mencalonkan diri. Menurut Said Budairy, Mahbub sama sekali tidak mengkampanyekan diri apalagi hingga mendirikan posko pemenangan di sekitar area kongres (NU Online, 2013).

Menurut Chalid Mawardi, konsep Deklarasi Tawangmangu seratus persen disusun oleh Mahbub Djunaidi (Budairy (ed.), 2001:155).Pernyataan sikap dan prinsip PMII yang tertuang pada Deklarasi Tawangmangu meninggalkan jejak tentang pemikiran Mahbub Djunaidi sebagai perumus deklarasi tersebut. Melalui Deklarasi Tawangmangu, Mahbub memperkenalkan apa yang disebut dengan sosialisme Indonesia. Sosialisme Indonesia dipilih oleh Mahbub dalam menyatakan sikap bahwa prinsip keberpihakan PMII adalah kepada rakyat. Sosialisme Indonesia menjadi pengejawantahan daripada UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Sosialisme Indonesia dalam artian struktur adalah terwujudnya pemerintahan yang stabil dan berwibawa. Sosialisme Indonesia dalam artian moral tidaklah lain daripada sosialisme yang berdiri secara khidmat di atas falsafah pancasila. Sosialisme Indonesia berarti bersikap dan bertindak sesuai garis tuntunan Allah swt, cenderung tinggi nilainya dan tidak mungkin ditangguhkan lagi (Tawangmangu, 1961). Atas dasar bahwa Deklarasi Tawangmangu dirumus seratus persen oleh Mahbub Djunaidi, maka bisa dikatakan bahwa sosialisme Indonesia adalah salah satu ciri dari visi politik Mahbub Djunaidi.

Menurut Ahmad Bagdja, manifesto kesimpulan Ponorogo adalah murni pemikiran dan sumbangan Mahbub terhadap organisasi. Melalui kesimpulan Ponorogo, Mahbub memberikan pedoman terhadap ciri seorang kader PMII. Ciri yang dimaksud adalah seorang kader harus memiliki kecakapakan ilmu, mengamalkan ilmu, dan menggunakannya demi kepentingan membangun bangsa (Bagdja, 2016). Pada akhir tahun 1963, PMII menyelenggarakan kongresnya yang kedua pada tanggal 25-29 Desember 1963 bertempat di Kaliurang, Yogyakarta. Kongres tersebut dihadiri sebanyak 31 cabang PMII dari berbagai kabupaten/kota. Pada momentum kongres tersebut juga diperkenalkan Mars PMII sebagai lagu resmi organisasi. Lirik mars PMII diciptakan langsung oleh Mahbub Djunaidi. Menurut Chalid Mawardi, lirik mars PMII adalah bukti lain visi sosialisme Mahbub Djunaidi (Budairy (ed.), 2001:154). Melalui kongres tersebut, Mahbub kembali dipercaya untuk melanjutkan peran sebagai ketua umum PMII periode selanjutnya.

Pengabdian Mahbub sebagai ketua umum PMII berakhir di tahun 1967. Kongres III PMII yang diselenggarakan pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang, Jawa Timur, dihadiri sebanyak 75 cabang. Melalui kongres ini, Zamroni terpilih sebagai ketua umum PMII selanjutnya. Atas keputusan tersebut, maka purna sudah amanah Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum PMII.

Khidmat Jam’iyyah Mahbub Djunaidi (1967-1971)

Pada tahun 1960 selain terpilih sebagai ketua umum PMII, Mahbub juga diamanatkan menjadi salah satu perwakilan partai NU sebagai anggota DPR/GR. Selama duduk sebagai anggota parlemen, menurut Isfandiari MD, Mahbub justru dikenal dekat dengan kader PKI, salah satunya adalah Njoto (Djunaidi, 2021). Bahkan, Njoto menyumbangkan ide untuk judul hasil terjemahan Mahbub terhadap buku Animal Farm karya George Orwell. Buku terjemahan tersebut diberi judul Bintanagisme yang merupakan ide dari Njoto.

Setelah purna sebagai ketua umum PMII, Mahbub melanjutkan pengabdian sebagai seorang kader NU dengan ikut mengurus GP Ansor. Mahbub bergabung dengan kepengurusan pusat GP Ansor hasil kongres ke-7 yang berlangsung tanggal 23-28 Oktober 1967 di Jakarta. Di Ansor. Dalam khidmatnya bersama Ansor, Mahbub tidak banyak bergelanggang seperti sebelumnya saat ia menahkodai PMII.

Mahbub Djunaidi turut membadani persiapan NU dalam menghadapi pemilu tahun 1971. Pada tanggal 5 Juli 1971. Diselenggarakan pemilu serentak untuk memilih anggota-anggota DPR dan DPRD. Sebagai sebuah partai debutan, Golkar menang telak dengan perolehan 62,8% (34.348.673) suara. Disusul oleh NU ditempat kedua yang memperoleh 18,68% (23.741.749) suara. Sementara PNI, yang merupakan pemenang pemilu 1955, menempati posisi ketiga dengan perolehan 15,39% (11.329.905) suara.

Mahbub Djunaidi, yang saat itu menduduki jabatan wakil sekretaris jenderal partai NU, mengkritik hasil pemilu 1971 sebagai sebuah kecurangan. Dalam kolom berjudul Rujuk Masyarakat 1971 ia menggambarkan bagaimana situasi pasca pemilu (Djunaidi, 2017:8). Setelah hasil perhitungan suara diumumkan, sekretaris jenderal NU, Yusuf Hasyim, menyiapkan draf pernyataan sebagai reaksi terhadap hasil akhir pemilu 1971. Draf tersebut berisi pernyataan bahwa NU tidak menerima hasil pemilu yang dianggap kurang bisa meyakinkan dan juga membeberkan bagaimana peristiwaperistiwa saat kampanye dan minggu tenang sebelum hari pemungutan suara. Mahbub mengajak seluruh kader NU untuk memboikot hasil pemilu 1971. Menurut Mahbub, dalam melakukan penolakan tentu tidak bisa separuh.

Mahbub mengajak seluruh kader NU untuk menolak duduk di DPR. Namun ternyata justru Mahbub mendapatkan kekecewaannya. Draf pernyataan yang telah dipersiapkan kepada publik, tidak pernah sampai untuk dikeluarkan. Kader-kader terpilih sebagai perwakilan NU di DPR tetap berdatangan ke Jakarta.

Manifestasi Politik Mahbub Djunaidi (1973-1984)

Pemilu 1971 adalah kontestasi terakhir yang diikuti oleh NU sebagai partai politik. Karena di tahun 1973, diberlakukan kebijakan penyederhanaan partai politik. Bersama Parmusi, PSII, dan Perti, NU kemudian tergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang dibentuk pada tanggal 5 Januari 1973. Terbentuknya PPP di deklarasikan oleh lima orang deklarator. Kelima orang deklarator tersebut adalah KH. Idham Chalid (ketua umum PBNU), H. Mohammad Syafa’at (ketua umum Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (ketua umum PSII), H. Rusli Halil (ketua umum PERTI), dan H. Masykur (ketua fraksi persatuan pembangunan).

Mahbub Djunaidi, pernah menuliskan dalam sebuah kolom bagaimana proses musyawarah mufakat pemilihan ka’bah sebagai lambang resmi PPP. Kesulitan yang dialami saat proses menggodok lambang untuk PPP adalah kemungkinan terciptanya sebuah lambang yang mewakili identitas NU, Parmusi, PSII, dan PERTI itu sendiri (Djunaidi, 2018:244). Ditengah kebuntuan tersebut Rais ‘Aam NU, Bisri Sansuri, maju ke depan dan mengambil kebijaksanaan, “Bagaimana kalau ka’bah saja yang jadi lambang PPP?”. Usul tersebut diterima oleh seluruh hadirin. Ka’bah yang merupakan simbol suci umat Islam, di rasa tepat sebagai logo PPP yang lahir atas restu para bekas partai politik islam.

Menghadapi pemilu 1977, Mahbub ambil bagian menjadi calon anggota legislatif PPP dari daerah pemilihan Timor Timur. Daerah tersebut memiliki mayoritas penduduk yang beragama non muslim, yang artinya bukan konstituen dari PPP. Terlebih sebagai salah satu daerah terpencil saat itu, Timor Timur merupakan basis besar pendukung Golkar. Ketika calon legislatif lain berlomba-lomba untuk menang dengan menyusun segala strategi terbaiknya, apa yang dilakukan oleh Mahbub justru menarik. Dengan maju sebagai calon legislatif dari PPP melalui daerah pemilihan Timor Timur, bisa dikatakan sama dengan memilih kekalahan.

Sebelum dan setelah pemilu 1977 berakhir Mahbub aktif mengelilingi berbagai perguruan tinggi untuk menghadiri forum-forum akademik dan diskusi terbuka. Kegiatan Mahbub mengelilingi perguruan tinggi ini kemudian dikenal dengan safari kampus. Mahbub kerap menyuarakan propaganda kritiknya terhadap pemerintah orde baru. Bahkan menurut Mahfud MD, salah seorang aktivis mahasiswa tahun 1978, Mahbub merupakan sosok yang memantik gerakan mahasiswa tahun 77-78 (Mahfud MD, 2016).

Satu yang paling menyita perhatian adalah surat kabar Kompas yang memuat tulisan berjudul Demokrasi Babi milik Mahbub. Babi dijadikan representasi keserakahan pemerintah orde baru. Setelah tulisan tersebut di muat, surat kabar Kompas kemudian dibredel oleh pemerintah orde baru. Konfrontasi Mahbub yang konsisten terhadap pemerintah orde baru membuat dirinya dikenal salah satu yang paling lantang meneriakkan kritik terhadap pemerintah. Suatu malam di kota Bandung, kediaman Mahbub digeruduk oleh puluhan orang tentara. Puluhan orang tentara tersebut bermaksud menangkap Mahbub. Malam itu, tepat tanggal 11 April 1978 Mahbub ditangkap atas tuduhan subversif terhadap pemerintahan orde baru (Djunaidi dan Rasta, 2016:10).

Demokrasi Politik Ala Mahbub Djunaidi

Menurut Chalid Mawardi, Mahbub Djunaidi adalah seorang yang mempunyai visi politik. Setidaknya menurut Chalid Mawardi, terdapat tiga poin dalam mendefinisikan visi politik seorang Mahbub Djunaidi. Pertama, visi tentang sosialisme. Mahbub adalah seorang revolusioner, karena ia percaya kepada macht forming dan macht anwending untuk mewujudkan cita-cita revolusi. Kedua, visi tentang nasionalisme. Nasionalisme bagi Mahub sangat berbeda dengan chauvinisme. Ketiga, visi tentang Agama. Mahbub kerap memberikan kritik terhadap kultur-kultur NU antara relasi santri dengan kiai yang diniilai bernuansa feodalistik (Budairy (ed.), 2001: 158).

Sebagai seorang pejuang demokrasi, menurut Isfandiari MD, pemikiran demokrasi Mahbub Djunaidi tidak bisa dipisahkan dari latar belakang Mahbub sebagai seorang yang berasal dari suku Betawi Tanah Abang. Menurut Isfandiari, Mahbub tumbuh dan besar di lingkungan Betawi Tanah Abang yang kental akan prinsip egaliter dan apa adanya. Demokrasi bagi Mahbub adalah demokrasi yang dijalankan dengan nyaman, dan memegang teguh prinsip egaliter.

Dengan demikian, Demokrasi Politik ala Mahbub Djunaidi adalah cita-cita terhadap demokrasi yang diperjuangkan melalui garis politik. Namun yang menjadi menarik, praktis satu-satunya jabatan politik yang pernah diraih oleh Mahbub adalah ketika menjadi anggota DPR/GR tahun 1960-1971. Itulah Mahbub Djunaidi, aktivis politik NU.

Kesimpulan

Mahbub Djunaidi adalah seorang aktivis politik NU. Pada periode tahun 1960- 1987, Mahbub Djunaidi menjadi Ketua Umum PMII (1960-1967), Wakil Sekretaris Jenderal PBNU (1967-1982), Wakil Sekretaris Jenderal PPP (1973-1984), Wakil Ketua Umum PBNU (1982-1987), dan Wakil Majelis Pertimbangan PPP (1984-1989). Demokrasi Politik ala Mahbub Djunaidi adalah cita-cita terhadap demokrasi yang diperjuangkan melalui garis politik. Selain itu, ia mengembangkan konsep khittah plus yang diinisiasi pada tahun 1987 adalah wujud dari konsistensi politik seorang Mahbub Djunaidi. Selain sebagai aktivis, Mahbub Djunaidi adalah seorang penulis yang terkemuka. Karya tulisnya menjadi salah satu ‘senjata’ mengkritik pemerintahan.

Daftar Pustaka

Alfas, F. (2015). PMII Dalam Simpul-Simpul Perjuangan. Jakarta: PB PMII.

Anam, C. (1999). Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Surabaya: Bima Satu.

Anam, C. (2010). Jejak Langkah Sang Guru Bangsa, Suka Duka Mengikuti Gus Dur Sejak1978. Jakarta: Duta Aksara Mulia.

Budairy, S. (2001). Mahbub Djunaidi: Seniman Politik Dari Kalangan NU Modern.Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Djunaidi, M. (2017). Politik Tingkat Tinggi Kampus. Malang: Literasi Nusantara.

Djunaidi, M. (2018). Humor Jurnalistik. Yogyakarta: IRCiSoD.

Evi Vivit Puspitasari Mahbub Djunaidi: Study Tentang Peranannya dalam Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia pada Tahun 1960- 1970”, ( Bandung: PT. Miza 2011), h. 24

Mahbub Djunaidi, Mahbub Djunaidi Asal Usul, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,1996)

Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU, Sejarah-istilah, AmaliahUswah,

(surabaya: Khalista,2007) h, 240.

Djunaidi, Mahbub, Asal Usul, (Yogyakarta: Ircisod, 1996).

Djunaidi, Mahbub, Dari Hari ke Hari, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1975).

Djunaidi, Mahbub, Kolom Demi Kolom, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986).

Djunaidi, Mahbub, Politik Tingkat Tinggi Kampus, (Malang. Literasi Nusantara,

2017).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya