is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yaser Fahrizal Damar Utama

Jalan Dakwah Sang Jurnalis

Agama | 2021-12-24 10:59:40
Ilustrasi / Sumber : Pixabay

Tidak semua hal yang terjadi di dunia ini dapat diketahui secara langsung oleh semua orang, maka beberapa informasi membutuhkan “kurir” untuk menyampaikannya. Kurir inilah yang para perkembangannya disebut pers. Pers menjadi mata dan telinga publik. Pers menyampaikan informasi yang tidak bisa didapatkan sendiri oleh publik. Pers berperan untuk memberi informasi (to inform), memberikan pendidikan (to educate) serta kontrol sosial. (Pasal 33 UU No.40 tahun 1999).

Dalam islam, setiap muslim wajib untuk berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuannya masing-masing Metode dakwah tidak hanya dilakukan dengan berbicara di atas mimbar. Dakwah harus senantiasa diperbaharui tanpa henti. Dakwah harus inovatif agar lebih relevan, mengena dan mengeksplorasi potensi dari kekuatan umat. Dakwah kini dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Misalnya pada tahun 2008 tayang sebuah film religi berjudul “Ayat-Ayat Cinta” karya Hanung Bramantyo yang sukses mencapai 3.8 juta penonton dalam waktu 4 bulan.. Film ini sarat akan nilai-nilai keislaman. Banyak tokoh-tokoh muslim, para pejabat yang ikut menonton dan mengapresiasi film ini.. Suksesnya film “Ayat-Ayat Cinta” seolah membuktikan kepada umat muslim bahwa berdakwah bukan hanya di atas mimbar di dalam masjid, tetapi juga bisa di dalam gedung bioskop.

Jurnalisme profetik (prophetic journalism) atau disebut juga jurnalisme kenabian adalah jurnalisme yang di dalam praktiknya berlandaskan cinta, damai dan untuk kebaikan seluruh umat manusia, atau dalam istilah islam disebut rahmatan lil alamin. Definisi yang lain dari jurnalisme profetik adalah gaya jurnalistik yang tidak hanya melaporkan berita dan masalah secara lengkap, jelas, jujur serta aktual, tetapi juga memberikan interpretasi serta petunjuk kearah perubahan, transformasi, berdasarkan cita-cita etik keagamaan. Istilah “Jurnalisme Profetik” ini dikaji dengan serius oleh seorang mantan wartawan senior bernama Parni Hadi. Dia menerbitkan buku khusus berjudul “Jurnalisme Profetik: Mengemban Tugas Kenabian” di tahun 2017. Jurnalisme profetik dapat dikatakan hal yang baru dalam kajian ilmu jurnalistik. Profetik dapat berarti kenabian atau perilaku yang penuh dengan nilai dan etika seperti yang dicontohkan oleh nabi.

Menurut Umar Natuna, jurnalisme profetik bukan semata menulis atau melaporkan berita dan peristiwa secara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab saja. Jurnalisme profetik memiliki misi keberpihakan terhadap persoalan besar di kalangan orang-orang kecil. Jurnalisme profetik harus bisa memberikan petunjuk ke arah transformasi atau perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik moral serta idealisme berbasis etik. Jurnalisme profetik mengandung nilai dari cita-cita etik dan sosial yang berlandaskan humanisasi, liberasi, serta transendensi. Ketiga dimensi ini merupakan pilar-pilar profetik.

Humanisasi dalam jurnalisme profetik dicirikan dengan perilaku mengedukasi (to educate), mendorong terwujudnya kesejahteraan manusia (prosperity), serta menjaga martabat kemanusiaan (human dignity). Setiap individu manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan pada dasarnya memiliki persamaan derajat dan hak serta kewajiban yang sama. Maka humanisasi disini adalah penjabaran dari nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dalam terminologi islam hubungan antara satu manusia dengan manusia lainnya disebut Habluminannas.

Liberasi dalam jurnalisme profetik dicirikan dengan perilaku menjunjung tinggi kebenaran (truth), keberimbangan (balance / cover both side), tidak berpihak (impartially) adil (fairness), objektif (objective), serta berperan aktif mewujudkan perdamaian (peace). Hal hal tersebut dalam istilah jurnalistik disebut disiplin verifikasi, atau dalam terminologi islam dikenal sebagai tabayyun. Namun semua hal yang disebutkan diatas tidak serta merta berarti jurnalis boleh menyajikan segala informasi secara apa adanya, jurnalis memiliki kewajiban untuk mereduksi atau mengemasnya dengan baik atas tujuan memberikan kebaikan untuk masyarakat secara keseluruhan.

Transendensi dalam jurnalisme profetik dapat dicirikan dengan perilaku akuntabilitas (Accountability) dan spiritualitas (Spiritually). Dapat diartikan sebagai kesalehan yang bersifat horizontal (habluminannas) dan vertikal (habluminalloh). Kesalehan tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat ibadah atau ritual, tetapi juga harus mewujud dalam akhlak dan perilaku. Dalam jurnalisme profetik dapat ditandai dengan kesadaran akan produk jurnalistik yang dihasilkan haruslah memberi kebermanfaatan untuk masyarakat seluas-luasnya. Jurnalis harus sadar bahwa dia harus mampu bertanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat dan Tuhan.

Jurnalisme profetik dapat diimplementasikan sebagai dakwah Bil Qolam dan dakwah Bil Hal. Dakwah Bil Qolam berarti aktif menyampaikan informasi atau dakwah melalui tulisan, gambar atau suara. Dakwah Bil Hal berupa dakwah dengan tindakan nyata.

Wartawan atau jurnalis adalah profesi. Sebagai sebuah profesi, jurnalis memiliki kode etik khususnya tersendiri dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya. Dewan pers sebagai lembaga independen yang memiliki fungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia, menyusun serangkaian kode etik yang disebut kode etik jurnalistik bersama 29 organisasi pers di Indonesia. Selain dari kode etik jurnalistik Dewan Pers yang berlaku secara nasional, terdapat juga kode etik jurnalistik yang disusun oleh organisasi-organisasi profesi jurnalis seperti yang dimiliki oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Menurut Zaenuddin seperti dikutip oleh Prisgunanto dalam sebuah jurnal berjudul “Kode Etik Jurnalistik di Kalangan Wartawan Media Cetak Islam”, “Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan landasan moral profesi dan rambu-rambu atau kaidah penuntun sekaligus pemberi arah kepada wartawan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya dihindari dalam melakukan kegiatan jurnalistik” .

KEJ juga dapat didefinisikan sebagai petunjuk bagi pers dan jurnalis untuk menjaga mutu profesi sekaligus memelihara kepercayaan masyarakat. Selain memiliki kode etik, pers di Indonesia juga diatur oleh delik pers yang tercantum dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Secara garis besar kode etik jurnalistik memuat prinsip-prinsip fairness, accuracy, bebas bertanggungjawab dan kritik-konstruktif. Prinsip-prinsip dasar ini terdapat juga dalam ajaran islam.

Prinsip pertama adalah fairness yang berarti keadilan atau kewajaran.: Dalam Al-quran terdapat dua kata yang dapat diartikan sebagai adil, yaitu ‘adl dan al-qisith. Menurut Imam al-Ghazali seperti yang dikutip oleh Muhammad Iqbal al-qisth merujuk kepada keadilan yang menyenangkan kedua belah pihak, seperti yang ada dalam al-Quran :“Dan tegakanlah timbangan itu dengan adil (al-qisth) dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS Ar-Rahman [55]:9). Sedangkan ‘adl adalah keadilan yang tidak menyenangkan bagi kedua belah pihak, seperti dalam persidangan, tentu pelaku akan merasa tidak senang dan korban akan merasa senang. (Iqbal, 2015). Orang yang adil termasuk kedalam golongan yang dicintai Alloh, seperti yang dijelaskan dalam potongan ayat berikut:“... sesungguhnya Alloh mencintai orang yang adil.” (QS Al-Maidah [5] : 42)

Prinsip kedua adalah Accuracy atau keakuratan informasi. Suatu informasi dapat dikatakan akurat apabili informasi itu sudah dipastikan benar. Untuk mengetahuinya, wartawan haruslah melakukan verifikasi. Disiplin verifikasi dalam terminologi islam disebut tabbayun. Seperti yang dijelaskan dalam al-Quran : “Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS AL-Hujurat [49] : 6). Dalam ayat tersebut kata tabayyun dalam bentuk perintah. Seorang muslim sudah seharusnya berhati-hati ketika menerima informasi dan menelitinya terlebih dahulu sebelum akhirnya disampaikan kepada orang lain atau khalayak luas. Al-Qur’an juga mengisyaratkan pentingnya meneliti kredibilitas sumber yang memberikan informasi.

Prinsip Ketiga adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Pada dasarnya setiap manusia bebas untuk melakukan segala sesuatu dan islam mengajarkan manusia untuk senantiasa bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan olehnya, baik di dunia maupun di akhirat. Seorang muslim meyakini kebaikan akan berbuah pahala dan keburukan akan berbuah dosa. Alloh SWT berfirman : “Maka barang siapa yang beramal kebaikan meski sebesar biji zarrah, dia akan melihat hasilnya dan siapa yang beramal keburukan meski sebesar biji zarrah, pasti ia akan melihat akibatnya” (QS Al-Zazallah [99]:7-8). Dalam ayat tersebut dengan jelas bahwa manusia akan mempertanggung jawabkan setiap perilakunya entah itu baik atau buruk. Dalam (QS Al-Thur [52]:21) dan (QS Al-Mudatsir [74]:38) dikatakan pula bahwa setiap manusia terikat dengan apa yang diusahakannya. Dan dalam (QS Al-Baqarah [2] :140) dikatakan bahwa tidak ada yang bisa disembunyikan dari Alloh karena Alloh tidak pernah lengah atas apa yang manusia kerjakan. Beberapa ayat diatas dapat dimaknai bahwa seorang jurnalis muslim haruslah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikatakan dan dilakukan, dan harus meyakini bahwa Alloh senantiasa mengawasi setiap saat. Selain bertanggung jawab kepada publik (habluminannas), seorang jurnalis muslim juga akan melakukan pertanggungjawaban kepada Alloh (habluminalloh).

Prinsip keempat adalah kritik-konstruktif. Kritik-konstruktif artinya menyampaikan kritik yang membangun tanpa bermaksud mencela atau menghina. Terdapat sebuah penggalan hadis berupa nasihat dari Nabi Muhammad SAW kepada Abu Dzar r.a. yang berbunyi : “Katakanlah kebenaran meskipun itu pahit (qulilhaqqo walau kaana murro)”(HR. Ibnu Hibban). Dalam memaknai hadist ini Habib Ali Zaenal Abidin Al Hamid dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa kita harus senantiasa mengatakan kebenaran walau mengandung resiko seperti kita dijauhi oleh orang tersebut. Tentu hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan mencela orang lain semata untuk menghina nya dengan alasan kebenaran. Dalam Al-Quran Alloh berfirman : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran [3]:104). Dari hadis dan ayat Al-Quran tersebut dapat dimaknai bahwa seorang jurnalis muslim haruslah senantiasa mengarahkan kepada kebaikan, sekalipun itu memiliki resiko. Tidak boleh ada bias-bias lain dalam diri seorang wartawan yang menghalangi integritasnya terhadap kebenaran. Bentuk kritik yang dilakukan pers haruslah yang bersifat membangun.

Selain dari beberapa dalil yang dikaitkan dengan empat prinsip utama dalam kode etik, masih ada banyak dalil baik dalam Al-Quran dan Hadis yang dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada dalam kode etik jurnalistik. Misalnya, jurnalis tidak boleh menyampaikan kebohongan, “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (Q.S. Al-Hajj [22] : 30).

Dalam kaitannya dengan praktik jurnalistik di kalangan wartawan muslim,kesadaran akan pentingnya konsep jurnalisme profetik ini akan membuat kegiatan peliputan, pengemasan hingga penyebarluasan informasi yang mereka lakukan senantiasa merujuk pada konsep-konsep jurnalisme profetik yang memiliki misi utama humanisasi, liberasi serta transendensi, untuk mengangkat derajat kemanusiaan, membebaskan manusia serta membawa manusia menuju keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat berfungsi sebagai pelindung masyarakat dari terpaan hoaks atau informasi-informasi yang bohong, sesat dan memiliki motif buruk di dalamnya. Kesadaran para wartawan muslin ini pada akhirnya dapat mendorong terwujudnya perubahan perilaku masyarakat, membentuk tatanan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berperadaban tinggi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya