is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alifah Niser

Toxic Parenting Merusak Mental Anak

Eduaksi | 2021-12-23 01:24:01

Sifat toxic merupakan sebuah sikap yang sering dilakukan oleh seseorang, tetapi tanpa disadari dapat menyakiti lawan bicara maupun dirinya sendiri. Dengan berdalih demi kebaikan sang anak, terkadang sifat-sifat negatif tersebut muncul dalam beberapa contoh kasus pengasuhan anak yang hanya berujung merugikan sang anak secara mental bahkan fisik.

Apa Itu Toxic Parenting?

Kita pasti sering mendengar istilah-istilah toxic parenting di masyarakat. Toxic parenting adalah cara pengasuhan anak yang salah dan akan berakibat buruk terhadap mental juga psikis anak. Sebagai orang tua pastinya selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Walaupun tanpa disadari cara yang mereka lakukan adalah bagian dari toxic parenting. Cara pengasuhan anak yang buruk terkadang membuat anak merasa terkekang dan memilih mengabaikan orang tuanya dan bergaul bebas sesuai keinginanya.

Pada masa remaja seorang anak tentunya ingin banyak mencoba hal-hal baru dan masih labil. Tetapi sebagai orang tua sebaiknya tidak melarang penuh anak untuk mengekspresikan dirinya, biarkan mereka mencoba hal-hal baru dengan pengawasan bukan larangan. Tidak semua orang tua percaya bahwa anaknya hebat dan mampu berprestasi dalam kompetisi. Sikap toxic parenting orang tua menurunkan rasa percaya diri anak terhadap kemampuannya sendiri.

Ciri-ciri perilaku toxic parenting:

1. Pengontrolan berlebihan terhadap anak

Orang tua terkadang masih saja mengontrol dan memperlakukan anaknya seolah anak kecil, mereka lupa bahwa kini anaknya sudah berhak menentukan pilihan mereka sendiri.orang tua terus saja membatasi keinginan anak, menentukan plihan terhadap anak, mereka tidak memikirkan dampak dari apa yang mereka lakukan. Anak akan merasa takut, tidak mempunyai keberanian, selalu bergantung pada orang lain, bahkan tidak mempunyai kepercayaan diri. Ketika anaknya megalami bullying dari teman-temannya orang tua merasa marah padahal faktor pemicunya adalah kesalahan orang tua dalam mendidik anaknya.

2. Membentak anak

Para orang tua hanya ingin bersikap tegas terhadap anak nya seharusnya bukan dengan membentak dan memarahi anak tetapi dengan menasehatinya. Mungkin zaman dulu membentak atau memarahi akan membuat anak jera, tapi tidak dengan jaman sekarang justru dengan dibentak emosional anak akan tidak stabil, membuat anak merasa sakit hati, trauma dan ingin memberontak dengan tidak mengikuti perkataan orang tuanya bahkan melakukan hal yang bertentangan dengan omongan orang tuanya.dari mulai masalah yang sepele akan membuat anak merasa semua yang dilakukannya selalu dinilai salah oleh orang tuanya, sehingga anak merasa stress. Banyak cara lain yang bisa dilakukan orang tua untuk mendidik anaknya tanpa harus mengorbankan kesehatan mental anak.

3. Kekerasan verbal

Mengasuh anak memang bukanlah hal yang mudah terlebih anak yang keras kepala, memang membutuhkan kesabaran yang besar. Tetapi sebagai orang tua jangan sampai meluapkan emosi dengan cara yang salah. Dengan memukuli anak misalnya, ataupun dengan mencubit, menjewer, dan juga diiringi dengan perkataan kasar. Dengan cara seperti itu anak tidak akan mengerti di mana letak kesalahannya yang dia tau adalah dia merasa ketakutan, depresi, trauma takut dipukuli lagi jika melakukan kesalahan. Anak akan terus hidup dengan bayang-bayang kekerasan yang dilakukan orang tuanya. Orang tua yang seharusnya menjadi tempat berkeluh kesah tempat paling nyaman untuk bercerita justru menjadi hal yang paling menakutkan dalam hidupnya.

4. Berekspektasi terlalu tinggi terhadap anak

Hal ini adalah hal yang sangat sering terjadi di masyarakat, faktor ini bisa terjadi karna orang tua ingin anaknya bisa mewujudkan mimpinya yang belum tercapai bahkan menyetir keinginan anak. Membandingkan anaknya dengan orang lain, orang tua ingin dengan membandingkan anaknya akan menjadi pacuan untuk anaknya. Padahal membuat anak merasa down karena mendapat tuntutan harus selalu bisa menjadi seperti yang orang tuanya mau.

5. Egois

Apa yang dilakukan orang tua pastinya ingin yang terbaik untuk anaknya. Tetapi sebagai orang tua coba pahami lagi apakah anak merasa puas atas keputusan yang dipilihkan orang tua. Egois tidak mau mendengarkan keinginan anak dan memaksa anak untuk mengikuti piihannya tanpa memikirkan apa yang dibutuhkan oleh anak.

6. Mengkritik anak

Jangankan anak-anak, orang dewasa saja sering melakukan kesalahan besar. Namun kadang para toxic parents tidak pernah menyadari hal ini. Mereka selalu menganggap masalah yang muncul disebabkan kesalahan dan kelalaian anak, hingga melabeli anak dengan kata negatif.

Padahal sebenarnya anak merupakan cerminan dari orang tua dan lingkungan mereka. Sebagai orang tua yang baik, seharusnya mereka tidak menyalahkan anak atau mengkritisi mereka habis-habisan atas ketidakmampuan anak dalam mengerjakan sesuatu dan saat anak berbuat kesalahan. Melainkan memberi masukan dengan baik supaya dapat diterima dengan mudah.

Jika tujuan mengkritik adalah supaya anak paham dan melakukan introspeksi diri, maka persepsi tersebut merupakan kesalahan besar. Masing-masing anak tidak dapat disamaratakan, sebab mereka memiliki kemampuan, daya tangkap, sikap dan tingkat kecerdasan yang berbeda. Sebagai orang tua hendaknya jangan mengkritik, namun memberikan dukungan agar anak mengalami peningkatan.

Sebaiknya, sebelum mengkritik anak orang tua mengevaluasi dirinya dan menyusun kalimat yang akan diucapkannya, seorang anak akan mengingat apa yang orang tuanya katakan karena mereka merupakan sosok yang berperan penting dalam hidupnya. Jika orang tua dengan mudahnya mengkritik anak dengan kata negatif, cacian, dan makian yang tanpa henti, anak akan merasa kebingungan dan merasa orang tuanya tidak benar-benar mengenal dirinya.

ketika orang tua sudah melakukan toxic parenting pada anak, ketika orang tua sudah menuntut suatu hal kepada anak seperti menyuruh anak memilih antara orang tua dengan temannya bahkan pasangannya atau menyuruh anak sering mengorbankan aktivitas yang mereka sukai demi mengabulkan permintaan orang tua.

Orang tua seperti ini cenderung menganggap bahwa perilaku ini untuk membangun hubungan yang sehat dengan anak namun sebenarnya orang tua malah membangun hubungan yang tidak sehat karena anak dituntut untuk terus mengorbankan apa yang membuat mereka bahagia dan membatasi mereka sebagai individu yang mandiri.

Pada intinya pola asuh toxic parenting akan banyak memengaruhi kondisi mental anak yang menjadi kurang baik. Selain itu komunikasi anak dan orang tua tidak akan berjalan dengan baik. Meski orang tua toxic kerap berdalih apa yang dilakukannya semata-mata karena kasih sayang, tetapi pola asuh yang toxic tentu saja tak baik untuk dilakukan. Anak membutuhkan cinta dan kasih sayang yang tulus dari orang tuanya. Jika tak mendapatkan hal tersebut, tentu saja jiwa anak bisa terluka.

Perilaku toxic parenting harus diubah sesegera mungkin, seorang anak akan mendengar, melihat, menyerap perilaku sehari-hari yang orang tuanya perlihatkan dan berikan, bukan hal yang mustahil mereka akan menginterpresentasikannya dalam kehidupannya saat menjadi orang tua nanti, toxic parenting hanya akan merusak mental anak dan kehidupannya di masa depan. Jika sulit dalam mengubahnya coba dari hal-hal kecil yang dapat membuat anak merasa aman jika berada di dekat orang tuanya, misal dengan cara mengapresiasinya tanpa mengkritik dan membandingkannya dengan orang lain atau bahkan saudaranya sendiri, menanyakan kabarnya dan kegiatan sehari-harinya sehingga anak mudah terbuka dalam berkomunikasi dengan orang tua, meminta maaf jika kita terlalu banyak menyalahkannya sehingga dikemudian hari anak akan terjauhi dari rasa bersalah yang berlebihan.

Masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah ataupun memperbaiki toxic parenting, bisa kita mulai dari hal-hal kecil yang disebutkan di atas dan masih banyak hal lainnya yang dapat kita terapkan kuncinya bertahap dan konsisten, hal ini dapat dikatakan usaha kita untuk memutus rantai pola asuh yang tidak sehat pada anak di kemudian hari.

REFERENSI

Garistia, Elisabeth.2021. Kenali Toxic Parenting dan Tanda-tanda yangMembahayakan Anak. https://www.brainacademy.id/blog/kenali-toxic-parenting-dan-tanda-tanda-yang-membahayakan-anak. Diakses pada tanggal 20 Desember 2021.

Amicis. Toxic Parenting: Pengertian, dan Ciri-ciri yang Menjelakannya. https://www.prenagen.com/id/apa-itu-toxic-parenting Diakses pada tanggal 20 Desember 2021.

Talitha, Tasya. 2021. Mengenal Toxic Parents, Apakah Anda Salah Satunya. https://www.gramedia.com/best-seller/toxic-parents/amp/. Diakses pada tanggal 20 Desember 2021.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya