is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Andi Firmansyah

Dilematis Kenormalan Baru

Lomba | 2021-09-25 14:16:05
Kepergian pandemi hanyalah peralihan masalah dan fokus kita dalam menanganinya | Ilustrasi oleh Antara/Dedhez Anggara via Republika.co.id

Andai pandemi pergi, sayap yang luka itu perlahan akan terobati oleh kegembiraan dan semangat baru dalam menatap cakrawala yang sudah lama menanti dijelajahi. Kesembuhan total tidak terkandung dalam mantra ajaib manapun. Sang Garuda harus kembali belajar tentang bagaimana caranya terbang, dan itu sungguh tidak apa-apa. Bukankah luka selalu mengajarkan ketangguhan dan kehati-hatian?

Memulai dari bawah bukan berarti kalah atau pecundang, melainkan sebagai bukti bahwa kita pernah terjatuh ke dalam air suci dan bangkit kembali dengan kekuatan yang lebih kokoh serta bijaksana menghadapi kesemrawutan dunia.

Pandemi adalah penyempit samudra yang karenanya membatasi keleluasan sang nakhoda. Meskipun masalah yang dibawanya begitu besar dan kompleks, tapi toh pada intinya adalah bagaimana cara negara untuk keluar dari batas-batas itu dan mencoret sebutan “pandemi” dari statusnya.

Bagiku, pertanyaan yang lebih penting bukanlah “bagaimana cara menghentikan pandemi”. Tidak, pertanyaan yang mungkin kita lewatkan padahal begitu penting adalah “siapkah kita jika batas-batas yang mengungkung itu dilepaskan dan pandemi pergi sepenuhnya”.

Aku pikir, pertanyaan pertama hanyalah keniscayaan dari apa yang kita dapatkan dari pertanyaan kedua, sebab kegigihan dan persatuan kita ditentukan oleh seberapa siapnya kita menghadapi “kenormalan baru” nanti yang bisa jadi lebih mengacaukan kita jikalau tidak dipedulikan sedari sekarang.

Jangan dikira anak 7 tahun sudah siap diberi uang seratus ribu rupiah untuk jajan sekolahnya. Kesuksesan hanyalah bencana penuh wewangian jika datang mendahului kematangan dari subjeknya. Begitupun pandemi yang kepergiannya terkesan menggembirakan, tetapi di balik itu terselubung masalah-masalah lama kita yang akan muncul kembali ke permukaan dengan berbagai persoalan baru yang mewarnainya.

Pertanyaan pertama “ada” karena keberhasilan kita dalam menjawab pertanyaan kedua, karena andaikan kita sudah siap menerima kepergian pandemi, kita akan punya sandaran yang kokoh untuk berjuang bersama melawan pandemi. Aku hanya khawatir bahwa ketika kita bergembira atas hilangnya pandemi, kita kemudian bertanya, “Lalu apa sekarang?”

Pandemi, sejauh ini, telah berhasil menyentuh sisi terlemah dari psikologis manusia, yaitu ketakutan kita akan ketidakpastian. Tetapi ketidakpastian hanyalah bagian kecil dari kehidupan ini yang absurd. Apa yang ingin kukatakan pada Ibu Pertiwi adalah, mari kita rangkul ketidakpastian itu menjadi antitesis yang menguatkan kita dalam melangkah, sebab prajurit tangguh manapun selalu punya strategi untuk menuntun mereka dalam absurditas peperangan.

Hantaman ombak tidak pernah berhenti dan ia selalu membuat kita lebih kuat | Ilustrasi merupakan karya pribadi yang diadaptasi dari karya Marchella FP

Andai pandemi pergi, akan kuhirup udara di kala senja dengan penuh kekhidmatan tanpa perlu khawatir oleh virus menjengkelkan itu. Tetapi perginya pandemi bukan berarti ketakutanku turut surut bersamanya. Justru aku lebih takut bahwa udara yang kunikmati nanti adalah udara yang tidak lagi dipenuhi virus, melainkan polusi pekat yang diakibatkan pembangunan ekonomi secara “brutal”.

Aku tahu bahwa bangsaku mampu melakukan hal-hal besar pasca-pandemi, tetapi jika dia tidak mampu mengendalikan ambisi dan emosinya, dia membuatku kedinginan. Andaikata kita dimabukkan oleh pembangunan di kala nanti pintu terbuka bebas, aku khawatir kita kehilangan kesempatan untuk memperbaikinya (lagi).

Pandemi adalah masa berharga untuk berkontemplasi tentang cara menghadapi keabsurdan dengan lebih baik. Ini adalah waktu luang kita untuk memperbaiki diri sendiri, belajar tentang bagaimana menjadi manusia sejati di tengah-tengah kekacauan, serta refleksi bagi setiap orang tentang seberapa baiknya detik ke detik yang mereka habiskan.

Jadi andaikan pandemi pergi, kuharap bangsaku akan ditopang oleh manusia-manusia sejati, yaitu mereka yang senantiasa memeriksa kehidupannya selama masa krisis. Merekalah yang menjadi bukti bahwa “sehabis gelap terbitlah terang”. Merekalah yang menunjukkan pada kita bahwa cahaya hanya dapat masuk melalui luka-luka kita.

Pada masa penuh kepelikan seperti sekarang, kita hanya mengenal satu kasus di mana perasaan kelembutan manusia lebih kuat daripada rasa takut terhadap kematian penuh siksaan. Kuakui bahwa rasa empati mayoritas orang beralih level ke tingkatan yang lebih tinggi, tetapi persis memang itulah yang ingin kukatakan.

“Pandemi” bukanlah kata kunci yang harus kita pedulikan untuk menjadi sejahtera dan bahagia. Kenyataannya, kita bisa menjadi demikian kapanpun dan di manapun. Kata kuncinya adalah “kita” sebagai subjek dari pandemi itu sendiri. Kita tidak perlu menunggu krisis ini berakhir untuk menjadi bahagia serta gembira, sebab di tengah-tengah kekacauan sekalipun, kita selalu bisa menemukan ketenangan yang tidak terkalahkan dalam diri kita.

Aku tidak akan menjadi optimis dengan mengabaikan keabu-abuan di sekitarku. Jika masalah selalu ada, lebih baik kita berbahagia bersama masalah itu daripada berbahagia dengan pura-pura bahwa kita nihil-masalah.

Jadi pikirku, kepergian pandemi sama sekali tidak menjamin apa-apa bahwa nasib bangsa kita akan menjadi lebih baik. Justru tidak menutup kemungkinan bahwa bangsa kita semakin terperosok akibat ketidaksiapan kita menghadapi permasalahan lama yang sempat tenggelam oleh urgensi pandemi.

Barangkali fakta yang sering kita lewatkan adalah kepergian pandemi hanyalah pergeseran masalah dan fokus kita dalam menyelesaikannya. Tetapi tentu bukan keyakinan semacam itu yang wajib kita miliki. Apa yang seyogianya kita percayai adalah, “Kebebasan, tidak lain, merupakan kesempatan untuk menjadi lebih baik.”

Oh andaikan pandemi pergi, tolong kepakkan sayapmu sejauh mungkin, Garudaku! Katakan pada dunia bahwa Indonesia tengah menatap apa yang tidak dilihat oleh yang lain; kekuatan tak terjelaskan yang pada khususnya menjadi kearifan Indonesia. Tidak apa-apa terengah-engah, sekalipun luka-luka lama berdarah kembali. Hal terpentingnya adalah, kita bisa melihat dengan tajam permata kecil nan berkilauan di antara batu-batu yang menjijikkan itu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya