is-rol-1_1-00is-pilihan-1_5-00 Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Jokowi Dan Pendidikan Nasional

Politik | 2024-05-02 04:08:04
Jokowi telah mengambil berbagai langkah untuk meningkatkan sistem pendidikan nasional selama masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Beberapa inisiatifnya termasuk peningkatan aksesibilitas pendidikan, peningkatan kualitas guru, pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri, serta peningkatan infrastruktur pendidikan di seluruh negeri. Eitsss Ada Tapinya...

Seberapa maju pendidikan nasional kita? Ah, jangan bicara kemajuan. Yang terjadi, pendidikan nasional kita makin terpuruk. Ada segunung fakta untuk membuktikan hal tersebut. Tiap hari kita juga disuguhi hal menyedihkan dari dunia pendidikan: putus sekolah, biaya pendidikan mahal, gedung sekolah ambruk, tawuran pelajar, dan lain-lain yang ternyata masih ada.

Adalah Program Kampus merdeka merupakan salah satu program dari kebijakan merdeka belajar milik Kemendikbud era Jokowi hari ini. Kebijakan merdeka belajar ini memiliki tujuan yang "sejalan" dengan cita-cita dari Ki Hajar Dewantara, yakni untuk memerdekakan manusia dalam lingkup pendidikan. Seperti merdeka dalam berpikir dan berekspresi. Melihat dari tujuan tersebut, kampus merdeka diharapkan dapat mewujudkan tujuan ini. Dan resmi diluncurkan Kurikulum nya pada Februari 2 tahun lalu.

Dilansir dari laman Kemendikbud, kurikulum kampus merdeka terdapat empat kebijakan, diantaranya adalah:
1. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) mendapatkan hak otonomi.2. Program akreditasi ulang secara otomatis.3. PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) mempunyai kebebasan untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH), dan4. Dapat belajar selama 3 semester di luar program studi.
Tidak semua kampus mendapatkan hak otonomi tersebut, hanya kampus yang memiliki akreditasi minimal B saja yang dapat mendapatkan otonomi. Kecuali pada prodi tertentu seperti prodi kesehatan. Kebijakan ini menuai kontroversi karena banyak yang menganggap bahwa kebijakan tersebut hanya terfokus ke beberapa kampus yang bisa dibilang ‘kampus unggulan’ saja.

Pada kebijakan keempat, mahasiswa boleh mengambil sks di prodi lain di kampusnya selama satu semester. Polemik yang ditimbulkan dari adanya kebijakan tersebut adalah mahasiswa yang sudah menetap di prodi awal kemungkinan akan kalah saing dengan mahasiswa yang pindah prodi, meskipun hanya selama satu bulan. Tidak hanya itu, kebijakan ini sangat rentan dengan banyak kelemahan karena tidak ada peraturan yang jelas.

Terlepas dari beberapa kontroversi yang ditimbulkan oleh kurikulum kampus merdeka, tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulum ini merupakan sebuah cara untuk dapat membuat pembelajaran kampus berjalan dengan lancar. Setiap hal yang dilakukan pasti akan ada sisi baik dan buruknya, tergantung bagaimana cara kita dapat meminimalisasikan sisi buruk hal tersebut, dan memperbanyak sisi positif pada setiap hal yang kita rencanakan. Pada kasus seperti kurikulum kampus merdeka ini, memang dapat dibilang bahwa kurikulum ini masih sangat baru, dan dinilai banyak orang tidak mempunyai persiapan yang matang dalam perencanaan kurikulum ini.

Tapi...Dari beberapa sisi negatif tersebut, ada satu kesamaan, yakni kebijakan yang ada pada kurikulum ini rentan terkena ketimpangan sosial atau social inequality. Sebagai pembuat kebijakan, seharusnya pemerintah membuat sebuah kebijakan yang bersifat menyeluruh pada seluruh lapisan pendidikan, tidak hanya terfokus pada lapisan tertentu. Kalau kebijakan ini tidak segera diperbaiki, maka ada kemungkinan kurikulum ini tidak akan berjalan lancar dan akan diganti dengan waktu yang singkat. Tentu Program Kampus Merdeka Lebih Berorientasi pada Pasar Bebas (alias Komersialisasi Pendidikan), melanggengkan Politik Upah Murah, serta menjauhkan minat bakat mahasiswa masuk organisasi ekstra kampus.

Ada lagi yang sangat mengganjal perasaan. Maklum, UU Perguruan Tinggi baru disahkan 2012 lau . Di mata banyak orang, UU PT ini membawa agenda “komersialisasi” di dunia pendidikan. Belum lagi, banyak orang yang memilih menyingkir akibat layanan pendidikan makin tak terjangkau.

soal akses rakyat marhaen terhadap layanan pendidikan, Mengacu pada data resmi, angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP berada direntang 90%-92%. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru berkisar 84%-93%. Angka partisipasi untuk perguruan tinggi lebih rendah lagi, yakni 31,4%. Jumlah mahasiswa di Indonesia baru berkisar 9.3 juta orang. Padahal, kabarnya, jumlah anak usia belajar di perguruan tinggi berkisar lebih dari 25 juta orang.

Salah satu persoalan besar sehubungan dengan rendahnya angka partisipasi sekolah ini adalah biaya pendidikan. Ada sekitar 26 persen siswa berhenti dari sekolah karena masalah keuangan. Pemerintah memang punya program BOS (Biaya Operasional Sekolah) dan KIP. Akan tetapi, biaya BOS hanya mengcover 70 persen biaya pendidikan. Belum lagi, siswa-siswi masih harus berhadapan dengan berbagai pungutan di sekolah. Begitu juga KIP yang pendistribusian nya rata rata tidak merata.

Tidak bisa tidak, kalau Presiden Jokowi menghendaki pendidikan bisa diakses rakyat banyak—sebagaimana dikehendaki Konstitusi—maka jalannya adalah menggratiskan pendidikan di seluruh jenjang (SD hingga Universitas). Jokowi harus membuang jauh-jauh ide-ide untuk menjadikan pendidikan sebagai barang-dagangan.

Kedua, soal kualitas pendidikan nasional. Banyak pihak yang menyebut kualitas pendidikan nasional saat ini makin merosot. Selain merujuk pada fakta menurunnya posisi Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia, kita juga bisa melihatnya pada menurunnya karya-karya ilmiah dan penemuan-penemuan baru dari dunia pendidikan kita. Fakta lainnya ditunjukkan oleh maraknya tawuran antar pelajar, menurunnya minat membaca dan menulis, dan lain-lain.

Tetapi ada yang lebih penting di sini: soal bagaimana pendidikan sejalan dengan kepentingan nasional kita. Artinya, pendidikan nasional mestinya berkontribusi pada kemajuan bangsa. Dunia pendidikan kita makin terisolir dari realitas. Banyak keluaran lembaga pendidikan tak mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi rakyat.
Ada problem pada kurikulum pendidikan saat ini. Kebanyakan kurikulum itu sekedar untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Sedangkan aspek-aspek yang lain, seperti pendidikan karakter, sengaja dikesampingkan. Akibatnya, lembaga pendidikan hanya manusia tak berkarakter.

Ketiga, soal pembangunan infrastruktur pendidikan. Ada data yang menyebutkan, sebanyak 60 persen ruang kelas SD rusak, sedangkan di SMP sekitar 53 persen, SMA-SMK 45 Persen.

Sayangnya, ini bukan pertama-kali pemerintah mengumbar janji. Selalu ada target: 2013, 2014, 2015, 2020, 2040, dst entahlah. Tapi, selalu saja terbukti bahwa target-target itu tidak pernah terealisasi sebagaimana mestinya. Alasannya pun selalu sama: anggaran (bagi saya tidak hanya anggaran tapi sikap ragu ragu pemerintah).

Menarik untuk menyimak isi surat Bung Karno pada saat peringatan 30 tahun Taman Siswa. Di surat tersebut Bung Karno mengutip perkataan Benito Juarez, Presiden pertama Meksiko, yang mengatakan: “Tiap-tiap manusia ingin belajar dan ingin maju. Yang membelenggu keinginan ini adalah kemiskinan dan kezaliman."

Ada banyak rakyat Indonesia yang ingin belajar. Sayang, biaya pendidikan yang sangat mahal terus-menerus merintangi jalan mereka untuk mengenyam pendidikan. Maka, supaya seluruh rakyat marhaen bisa mengakses pendidikan, maka negara harus berjuang keras untuk menggratiskan biaya pendidikan di semua jenjang.

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image

Ikuti Berita Republika Lainnya